~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#196 Three Weddings and Jane Austen


Judul Buku : Three Weddings and Jane Austen
Penulis : Prima Santika
Halaman : 464
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Sekali lagi, tergiur untuk memiliki buku ini gara-gara covernya yang cantik. Plus ada nama Jane Austen di judulnya. Saya memang baru membaca Pride & Prejudice dari sekian banyak novel Jane Austen, tapi saya tahu kualitas dari karya Jane Austen. Bahkan sampai ada film The Jane Austen Book Club. Tidak heran sebenarnya, mengingat karya-karya Jane Austen yang masuk dalam jajaran buku klasik, dan tentunya sudah menjadi bacaan wajib dalam dunia literatur. Lalu bagaimana dengan Jane Austen rasa Indonesia?

Three Weddings and Jane Austen bercerita tentang obsesi seorang ibu bernama Sri terhadap novel-novel karya Jane Austen. Ibu Sri punya tiga orang anak perempuan yang diberi nama sesuai tokoh dalam novel Jane Austen yang menurut Ibu Sri punya karakter sama, penyayang, berpendidikan dan berperilaku baik.
Emma berasal dari nama Emma Woodhouse dalam novel Emma
Meri berasal dari nama Marianne Dashwood dalam novel Sense and Sensibility
Lisa berasal dari nama Elizabeth Bennet di Pride and Prejudice  
~hal. 12
 Selain nama, Ibu Sri juga menggunakan novel Jane Austen untuk mendidik anak-anaknya. Termasuk untuk urusan jodoh yang membuatnya pusing, karena ketiga putrinya belum menemukan pasangan hidup. Bagi Ibu Sri yang adalah wanita Jawa, karakter tokoh-tokoh wanita dalam novel Jane Austen cocok untuk diterapkan dalam cara bersikap sebagai seorang wanita Jawa yang tetap menjaga budaya, sekaligus mendapatkan kebebasan memilih jalan hidup. Ketika ketiga putrinya menemukan konflik dengan pasangan masing-masing, semua nasihat sang Ibu berangkat dari novel Jane Austen. Tidak banyak yang bisa diceritakan dari novel ini, jadi saya akan menuliskan pendapat pribadi saya setelah membaca buku ini.

Saya harus bilang wow.  Jujur saja, saat membaca buku ini saya seperti membaca ringkasan dari beberapa novel Jane Austen, sampai saya harus skip beberapa bagian karena berasa membaca spoiler.  Saking terobsesinya Ibu Sri, dia sampai harus "menghidupkan" karakter Jane Austen dalam diri anak-anaknya. Anak-anaknya bukannya menerima begitu saja, mereka juga jengah dengan fanatisme Ibu Sri.
"Not another Jane Austen story, Ma... please. Haven't you had enough?
"Not at all, sayang. They are good stories."
"Emangnya nggak ada yang lain ya, Ma? Kan bosen Jane Austen melulu."
"What's wrong with Jane anyway? Meski nggak semua masalah romantis bisa dijawab oleh kisah Jane Austen, menurut Mama  yang nggak punya latar belakang pengalaman bercinta seperti kalian anak muda sekarang, kisah-kisah ini adalah bekal Mama untuk bisa menjadi bagian dalam hidup kalian anak-anak gadis Mama. Emang, sih, Mama kurang berpendidikan karena nggak baca buku-buku lain. But Jane is all I have, and it's enough for me, whether you like it or not!"
 Fyuuh.. Saya jadi bersyukur Mama saya bukan seorang kutu buku kayak saya. Mama saya juga menikah muda, umur 19 tahun kalau ga salah. Saya nggak bisa membayangkan kalau hidup saya harus seperti karakter tokoh dalam novel-novel Mira W., misalnya. Saya sendiri tidak pernah bisa menempatkan diri sebagai salah satu dari tokoh novel yang saya baca. Mungkin pada saat membaca bukunya, saya bisa. Tapi sesudah saya menutup buku dan membaca buku lain, ya sudah. That's only fiction anyway.

Saya juga menemukan dua hal lain yang cukup mengganggu benak saya. Sebagai keluarga Jawa yang memegang adat istiadat dengan baik, tidak sekalipun saya melihat peran Bapak dalam hidup ketiga putrinya. Memang suami Ibu Sri diceritakan sebagai seorang dokter yang sibuk, tetapi si Bapak ga pernah muncul. Kecuali di bagian Meri dan Lisa yang mau minta izin ke Bali, Ibu Sri menyuruh mereka bilang ke bapaknya yang "sedang ada di kamar". Nggak tahu ngumpet atau lagi ngapain. Mungkin dalam keluarga mereka si Bapak bertugas nyari nafkah, untuk urusan anak-anak adalah kewajiban Ibu sepenuhnya.

Hal kedua adalah pesan singkat (SMS) Ibu Sri kepada ketiga putrinya yang mengabarkan kabar duka yang menimpa Budhe Tatik di Surabaya. Emma mendapatkan pesan itu ketika baru ditinggalkan oleh pria yang disukainya (hal. 179). Lisa mendapat pesan yang sama saat melihat kejadian di malam Meri diputuskan pacarnya (hal.219). Sementara Meri, medapatkan pesan itu sebulan setelahnya (hal. 233). Anehnya mereka bisa sama-sama berangkat ke Surabaya. Hm.. mungkin sinyal dari operator saja yang lagi kacrut, sehingga Meri dapat SMSnya telat :)

Alur ceritanya memang agak tumpang tindih. Masih wajar karena buku ini diceritakan dari empat sudut pandang, Ibu Sri, Emma, Meri dan Lisa. Tidak akan bingung karena di bagian atas halaman buku ada nama yang bercerita saat itu. Yang tidak biasa adalah karena semua dialog ditulis dalam huruf italic. Soal typo, masih ada beberapa. Misalnya nama Meri yang kadang tertulis Merri atau Merry serta ada bagian yang seharusnya dicetak miring tetapi dicetak biasa.

Mempertimbangkan cover dan spoiler novel Jane Austen di dalamnya, saya memberikan bintang dua untuk novel ini. Setidaknya kalau saya bisa intip kembali isi buku ini kalau mau membaca novel Jane Austen untuk sekedar mendapat gambaran isi novelnya.  *No offense*

2 stars
2 comments on "#196 Three Weddings and Jane Austen"
  1. jadi ingat kalo masih punya hutang review buku ini T.T

    ReplyDelete
  2. Temenku juga bilang nggak suka buku ini. Hmmm

    ReplyDelete