~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#316 Pasung Jiwa


Judul Buku : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Halaman : 328
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Apa itu kebebasan?

Tagline dari novel keempat karya Okky Madasari yang berjudul Pasung Jiwa ini seakan-akan menjadi ruh dalam sepanjang kisah yang tersaji di dalamnya. Berbagai macam isu sosial di masyarakat diangkat, diramu, dan dikumpulkan dalam kisah Sasana dan Jaka Wani.




Sasana, seorang anak laki-laki yang lahir di dalam lingkungan keluarga berada. Ayahnya seorang pengacara, ibunya seorang dokter bedah. Sejak kecil Sasana dilatih untuk memainkan piano klasik. Sasana hanya menurut saja, tapi dia bermain tidak dari hatinya. Dia hanya menggunakan akalnya saja untuk memainkan musik klasik sesuai permintaan orang tuanya. Kepandaian Sasana memainkan musik membuatnya cukup piawai untuk tampil di berbagai pentas saat masih di bangku SD kelas 4. Tapi siapa yang menyangka jika jiwa Sasana sebenarnya menyukai musik dangdut, musik yang dianggap kampungan. Sasana merasa terjebak dalam tubuhnya, dia ingin bebas mencintai musik dangdut yang bisa membuat badannya bergoyang. Bukan hanya karena dangsut semata yang menjadi masalah Sasana. Sisi kelembutan yang ada di dalam dirinya membuatnya jadi bulan-bulanan di sekolah. Dia sering menjadi korban bullying oleh anak-anak kelas atas. Meski di sempat menderita patah tulang karena dikeroyok, orang tuanya tidak mampu berbuat apa-apa. Pasalnya, anak-anak yang menganiaya Sasana memiliki orang tua yang lebih berkuasa.

Ketika Sasana meninggalkan Jakarta untuk pergi kuliah di Malang, dia menemukan kebebasan pertamanya. Sasana pun berubah menjadi Sasa, seorang biduan dangdut. Adalah Jaka Wani, atau yang dikenal dengan Cak Jek, yang menawarkan kepada Sasa profesi sebagai biduan dangdut. Cak Jek juga yang mengatur agar mereka melakukan profesi itu secara profesional. Sasa mulai terkenal, tidak lain karena goyangannya yang aduhai. Hingga suatu ketika, seorang kenalan mereka meminta bantuan untuk mencari tahu soal anaknya yang hilang. Cak Man bercerita jika anaknya Marsini, seorang buruh pabrik, hilang setelah dia mengajak kawan-kawannya untuk melakukan aksi protes di pabrik tempatnya bekerja. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh Cak Jek dan (terutama) Sasa ketika mereka memutuskan untuk membantu Cak Man. Harga itu adalah kehilangan kebebasan mereka sebagai pelaku musik dangdut. Keduanya juga akhirnya terpisah akibat ditangkap oleh tentara saat melakukan aksi protes di pabrik. Entah bagaimana nasib Cak Jek setelah diciduk, yang pasti Sasa diperlakukan sebagai waria yang dipaksa untuk memuaskan nafsu para tentara. Ketika Sasa dibebaskan, dia memilih pulang ke Jakarta, untuk kemudian oleh orangtuanya dia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Di RSJ itu, Sasana bertemu dengan seorang calon psikiater bernama Masita. Kepada Masita, Sasana bisa menumpahkan apa yang ada di pikirannya. Masita kemudian menjadi orang yang memberikan kebebasan kedua kepada Sasana dan Sasa.

Cak Jek (Jaka) yang bebas dari penjara setelah diciduk akibat aksi protes di pabrik, merantau ke Batam. Di sana dia bekerja sebagai buruh pabrikan. Jaka menyebut dirinya mesin yang bekerja dengan rutinitas yang terpola. Di Batam pula, dia bertemu dengan Elis, seorang wanita yang memilih kebebasannya dengan menjadi pelacur. Jaka banyak belajar dari Elis, tapi juga dia terpaksa meninggalkan Batam gara-gara Elis. Pelarian Jaka akhirnya membawanya ke Jakarta dan bergabung dalam sebuah ormas keagamaan yang bekerja menumpas kemaksiatan lewat jalan kekerasan. Jaka merasa menemukan dirinya yang baru, namun dia tidak bisa melupakan bayang-bayang Sasa, Elis, Marsini, dan banyak wanita lainnya yang pernah dikecewakannya.

Saya harus berhenti menceritakan isinya di sini. Sesungguhnya, saya kesulitan untuk membuat reviewnya, dikarenakan novel ini benar-benar padat isinya. Setiap kisah terangkai begitu sempurna, sehingga jika saya bercerita tentang satu hal, rasanya saya ingin menceritakan hal lain yang mengikutinya untuk membuatnya utuh. Tapi tentu saja saya gak boleh membuka spoiler di sini.

"Tak ada jiwa yang bermasalah, yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda" (hlm 146)

Pasung Jiwa bukan hanya tentang kebebasan. Tetapi juga bercerita tentang ketidak adilan, kekerasan dan ketimpangan yang dialami oleh orang-orang marjinal, orang-orang yang tidak seperti kebanyakan orang lainnya. Penghakiman yang selalu datang dari sesama membuat kebebasan itu dipertanyakan kehadirannya. Saya mencoba mengutip hasil wawancara seorang rekan BBI (mbak Yuska) dengan penulis novel ini (mbak Okky) tentang apa inti dari novel ini.

Kebebasan individu. Setiap orang punya ketakutan masing-masing. Apakah kita sudah terbebas atau masih terpasung? Nah, itu kembali pada diri masing-masing bukan? Tema itu kemudian saya kembangkan lewat empat tokoh; ada yang merasa terpasung karena aturan yang dibuat orangtua, norma di masyarakat, atau agama. Bagaimana setiap kita menghadapi ini, begitulah Pasung Jiwa.

Seperti kedua novel karya mbak Okky sebelumnya yang sudah saya baca (Entrok dan Maryam), sekali lagi saya terpesona dengan gaya penulisan dan alur kisah yang mengalir. Namun, khusus untuk novel ini, saya masih penasaran akan satu hal. Novel Pasung Jiwa yang ada di tangan saya adalah edisi perdana yang covernya masih ada list putih di sekelilingnya. Saya memang sengaja membelinya ketika baru pertama kali terbit untuk segera melengkapi koleksi novel karya Okky Madasari di rak saya. Ternyata, edisi itu ditarik dari peredaran, dan kabarnya mengalami proses editing ulang untuk kemudian diterbitkan kembali. Nah...saya penasaran sama edisi setelah diedit ulang itu. Apakah ada yang berubah selain covernya yang jadi tidak lagi ber-list putih?

5 stars


8 comments on "#316 Pasung Jiwa"
  1. Aaah jadi penasaran ama edisi sebelum revisi.

    ReplyDelete
  2. Woah, lima bintang...?

    #liriknovelpasungjiwaditimbunan

    ReplyDelete
  3. Haha sama kayak aku yg penasaran sama edisi revisi.

    ReplyDelete
  4. Wah Lima bintang, bagus banget tentu nya. Eh iya makasih bukunya sudah sampai dengan selamat #salahfokus

    ReplyDelete
  5. hahaha, jadi bedanya setelah dan sebelum revisi apa ya, mbak? kayaknya secara garis besar kok sama ajaa

    ReplyDelete
  6. *sigh*

    setelah baca dua review dari dua orang yang berbeda, jadi ceritanya begitu ya :/

    mbak sendiri klo ketemu trans gimana?

    ReplyDelete
  7. belum pernah baca buku2 okky nih, tapi cukup penasaran sama isu2 yang diangkat... ada apa dengan covernya ya? kayaknya nggak ada yg kontroversi di sana.. atau isi nya yang diedit?

    ReplyDelete
  8. diedit garis pinggir yang warna putih aja mbak astrid:)

    ReplyDelete