~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#339 Paper Towns


Judul Buku : Paper Towns
Penulis : John Green
Halaman : 320 (ebook)
Penerbit : Speak

Setelah membaca tiga novel bestseller-nya John Green (The Fault In Our Star, An Abundance of Katherine dan Looking For Alaska), tidak ada alasan bagi saya untuk tidak membaca Paper Towns. Saya sengaja tidak membaca versi terjemahan (oleh GPU), karena saya ingin kembali merasakan "ajaib"nya pilihan kalimat John Green dalam novelnya.

Paper Towns bercerita tentang dua orang sahabat Quentin (alias Q) dan Margo. Q sudah menyukai Margo sejak mereka masih kecil dan terus menyimpan perasaannya itu hingga mereka bernjak remaja. Suatu hari Q dan Margo menemukan mayat seorang pria di taman. Margo yang menyukai misteri berusaha memecahkan kasus penemuan mayat itu. Selang waktu berlalu, Q melupakan kasus itu, tapi ternyata Margo mempunyai pemikiran yang mendalam tentang hal tersebut.

Saat dewasa (di akhir masa SMA), Margo menjadi gadis yang popular, sementara Q menjadi geek boy. Suatu malam, Margo mendatangi Q dan mengajaknya melakukan petualangan. Awalnya Q keberatan, tapi dia tidak bisa menolak permintaan Margo. Malam itu mereka melakukan aksi balas dendam untuk Margo yang dikhianati pacarnya, serta untuk Q yang selalu di-bully di sekolah oleh seorang bernama Chuck. Petualagan ini sangat berkesan bagi Q. Bukan saja karena dia melakukan sesuatu yang menyenangkan bersama Margo, tetapi lebih karena dia menyadari ada sosok heroic di dalam dirinya. Q merasa malam itu akan membuat dia mendapatkan kesempatan untuk lebih dekat lagi dengan Margo.

Sayangnya, keesokan harinya Margo menghilang. Dia pergi meninggalkan rumah. Sebenarnya hal ini bukan pertama kali dilakukan oleh Margo. Orang tua Margo sudah sedemikian putus asa dengan kelakuan anaknya, sampai-sampai mereka merasa beruntung Margo pergi meninggalkan rumah. Tapi tidak demikian halnya dengan Q. Dia harus menemukan Margo. Berbekal petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh Margo, dan dibantu oleh dua sahabatnya (Ben dan Radar), Q memulai petualangannya menemukan Margo.

Di saat saya tiba di bagian dimana Margo menghilang, saya lantas teringat pada Alaska di Looking For Alaska. Margo ini tipikal gadis nyentrik seperti Alaska. Q sendiri merasa Margo selalu berada beberapa langkah di depannya. Di malam mereka berpetualang bersama Margo sempat menyinggung bahwa dia menyukai cowok pemberani seperti Q malam itu. Makanya Q merasa Margo ingin ditemukan olehnya dengan cara meninggalkan jejak untuknya. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak Q selama dia mencari Margo. Bagaimana jika Margo mati? Mengapa Margo memilih pergi sebelum hari kelulusan? Tapi satu hal pasti yang diketahui oleh Q. Dia tidak mengenal siapa Margo sesungguhnya.

Paper Towns bukanlah novel biasa. Petualangan Q bersama Ben yang kocak serta Radar yang jenius sangat menarik dan benar-benar page turner.  Di samping itu di dalam novel ini ada banyak metafora serta filosofi hidup di dalamnya. JG membagi novel ini dalam 3 bagian besar menurut filosofi yang "diciptakan" oleh karakter di dalamnya. Ada The Strings (filosofi tentang kehidupan ala Margo), The Grass (filosofi hubungan ala Whitman) dan The Vessel (filosofi tentang bagaimana melihat orang lain ala Q).

Di antara banyak karakter yang muncul di dalam novel ini saya justru suka sama Radar, sahabatnya Q. Selain karena dia sangat jenius dalam hal komputer dan internet sampai bisa membuat kamus online, dia itu bisa dibilang paling rasional dibandingkan Q dan Ben. Ketika Q marah karena Ben hanya memikirkan tentang pesta prom dan tidak peduli dengan misi mencari Margo, Radar-lah yang mengingatkan Q bahwa dia tidak bisa memaksakan semua orang untuk menjadi seperti dirinya. Trus karakter yang paling saya tidak sukai adalah Margo. Alasannya simpel. Dia egois. :)

Lantas apa itu Paper Towns? Sepanjang membaca novel ini kita akan dihadapkan pada berbagai defenisi yang berbeda. Paper towns bisa dimaksudkan sebagai pesudivision (sepertinya ini istilah yang dibuat sendiri oleh JG yang mengacu pada bagian dari kota - subdivision- yang tidak benar-benar ada, atau pernah direncanakan untuk ada namun pembangunannya tidak selesai/terabaikan). JG juga menyinggung bahwa Paper Towns bisa berarti kota fiktif yang dibuat oleh pembuat peta untuk menghindari plagiat. Namun Margo memiliki pendapat sendiri mengenai Paper Towns bagi dirinya. Apa itu? Silahkan membacanya sendiri.

Jika dibandingkan dengan ketiga buku yang saya baca sebelumnya TFIOS masih tetap yang juara. Tapi bukan berarti yang lainnya biasa saja. Saya selalu ngasih paling sedikit bintang 4 kok. Jujur saja, dibandingkan membaca versi terjemahan, saya menyarankan untuk membaca versi aslinya untuk semua novelnya JG. Bukannya tidak menghargai proses penerjemahan itu sendiri, tetapi bagi saya kalimat-kalimat gaul ala JG lebih dapat "feel"-nya kalau tidak diterjemahkan. Misalnya kalimat berikut ini:

Peeing is like a good book in that it is very, very hard to stop once you start 

*LOL*

See? Makanya saya masih mengidam-idamkan boxset novelnya John Green dalam bahasa InggrisWell... sebentar lagi saya berulang tahun. Ada yang mau ngasih kado? *wink*

4 stars


 
6 comments on "#339 Paper Towns"
  1. Aku baca TFIOS, lalu Looking for Alaska. Untuk Looking for Alaska, aku ngga begitu ngerasa Alaska itu spesial, tapi untungnya berhasil aku habiskan. Terus minggu lalu aku mau baca An Abundance of Katherine demi ikutan P.S. I Love It di laman Periplus. Sayang, cuma beberapa lembar pertama dan aku ngga mau lanjut baca.
    Entah ya, karakter-karakter ciptaan John Green ini mirip-mirip. Formula ceritanya juga, kenapa mesti selalu quirky? o_O

    ReplyDelete
  2. LFA dan PT memang hampir mirip. Cowok geek versus cewek popular. Di AAOK juga cowoknya geek.

    ReplyDelete
  3. nah itu, mentang2 John Green sndiri geek & sy ud populer sbg nerdfighter karakter2nya ga jauh2 tipenya. ^^v

    ReplyDelete
  4. Sebenernya buku JG yang booming banget itu TFIOS karena ceritanya beda dengan karya2nya sebelumnya. Karena TFIOS booming, orang-orang jadi pada nyari bukunya yang lama. Alhasil banyak yang kecewa. Tinggal nunggu buku terbarunya JG setelah TFIOS nih. Penasara bakalan sebagus TFIOS atau nggak.

    ReplyDelete
  5. hoo.. gitu,
    pantes..
    tapi TFIOS ga gitu beda juga, cuma ya, emg lebih matang.
    terus ini kan Paper Towns mw difilm juga, Nat Wolff kali ini.

    ReplyDelete
  6. Mbak mau tanya dong Kalo mau beli boxsetnya JG dalam bhs ing dimana ya?

    ReplyDelete