~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#464 Genduk



Judul Buku : Genduk
Penulis : Sundari Mardjuki
Halaman : 232
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


Genduk adalah seorang bocah perempuan berumur 11 tahun. Aslinya dia bernama Anisa, tapi Biyung (ibunya) dan semua orang yang mengenalnya memanggilnya demikian. Genduk dan ibunya tinggal di Desa Ringinsari, di lereng Gunung Sindoro sekitar tahun 1975. Ayah Genduk, yang dipanggilnya dengan sebutan Pak'e, sudah lama pergi meninggalkan mereka.


Seperti halnya dengan sebagian besar penduduk di sana, Genduk dan Biyung-nya mengandalkan tembakau sebagai mata pencaharian. Ketika gangsir mulai menghilang, dan hujan mulai jarang turun, maka itulah waktu yang tepat untuk memulai menanam tembakau. Sebagai orang susah, untuk mendapatkan modal awal menanam tembakau Biyung harus berurusan dengan rentenir. Supaya hutang-hutang lunas terbayar, maka mereka sangat berharap panen tembakau bisa berhasil. Kesulitan berikutnya adalah ketika panen sudah tiba, petani mempercayakan hasil panennya pada perantara yang akan membawa tembakau itu ke kota. Masalahnya tidak semua perantara itu menjual dengan harga yang jujur.

Mata rantai pertanian tembakau inilah yang menjadi latar belakang kisah Genduk. Dengan menggunakan sudut pandang Genduk, Genduk menceritakan keadaan desanya, pencariannya akan sosok ayah, juga pergumulannya saat harus berhadapan dengan rentenir. Genduk adalah sosok bocah yang cerdas dan terkesan dewasa sebelum waktunya. Khususnya ketika dia mengalami pelecehan seksual oleh seorang rentenir di desanya, atau ketika dia terpaksa pergi dari desa untuk mencari ayahnya.

Berhubung saya sudah membaca Gadis Kretek (salah satu novel yang juga bercerita tentang petani tembakau), saya mau tidak mau jadi membandingkan kedua novel ini.  Tapi saya merasa ada yang kurang dari novel ini. Masalah budidaya tembakau hanya dikisahkan sekilas. Khususnya ketika Biyung mendapatkan tembakau srinthil. Memang sih belum ada teknik budidaya tembakau srinthil sampai saat ini, sehingga yang mendapatkan tembakau srinthil itu ibarat mendapat durian runtuh. Saya pun tadinya juga berharap ada lompatan lini waktu yang akan mengisahkan kehidupan Genduk dan ibunya setelah mendapatkan tembakau srinthil.

Perjuangan Genduk mencari sosok ayah justru menjadi bagian yang paling kuat di dalam novel ini. Dibumbui dengan kehidupan di pondok pesantren, masalah PKI, dan juga perantauan ayahnya. Mungkin ini bisa menjadi poin yang menarik untuk disimak di dalam novel ini. Saya juga suka dengan penggunaan dialek yang kental dan juga puisi-puisi Genduk. Jangan terpengaruh pada gambar sampulnya yang terkesan serius, novel ini cukup ringan untuk dinikmati.


4 stars
Be First to Post Comment !
Post a Comment