~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#488 San Francisco


Judul Buku : San Francisco
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Halaman : 215
Penerbit : Grasindo


Ansel, cowok dengan perawakan tinggi dan penggemar musik klasik. Dia bekerja sebagai sukarelawan di Suicide Prevention Center, San Francisco. Dia bertugas mengangkat telpon, dan mendengarkan suara orang-orang yang hendak bunuh diri. Pekerjaan yang tidak lazim sebenarnya. Suatu hari, seorang gadis menelpon dari Golden Gate Bridge dan mengatakan hendak melompat dari jembatan itu. Tapi akhirnya gadis itu mengurungkan niatnya karena Ansel mengenali lagu klasik yang dinyanyikannya. 

Maharani, atau Rani, nama gadis asal Indonesia yang hendak bunuh diri itu. Ternyata dia mengidap Adult Separation Anxiety Disorder. Dia memiliki 40 tatto semicolon (kurang lebih) di badannya sebagai pertanda setiap kali dia melakukan upaya bunuh diri. Tatto itu dibuat oleh Benji, pacarnya yang juga mengenalkan tentang musik klasik padanya. Sebenarnya Rani datang ke San Francisco dalam rangka kuliah di jurusan seni. Dia pembuat perhiasan bersertifikat, dan ingin mendalami ilmu tentang membuat perhiasan itu. Tetapi kecintaannya pada tanah airnya dan keluarganya membuatnya selalu merasa depresi dan ingin bunuh diri.

Awalnya saya menduga novel ini hanyalah novel romance bertema travelling seperti yang sudah banyak beredar. Tetapi nama Ziggy sebagai penulisnya membuat saya yakin pasti ada sesuatu yang berbeda di dalam novel ini. Benar dugaan saya. Selain disajikan dengan tema bunuh diri, Ziggy juga mengangkat soal musik klasik. Dia bahkan menggunakan beberapa istilah dalam musik klasik seperti aubade, overture, morendo dan sebagainya sebagai judul setiap babnya. Dua hal itu cukup mengalihkan perhatian saya dari kata San Francisco, seandainya Ziggy tidak menyelipkan tentang Golden Gate Bridge dan sejarahnya.

Bukan hanya itu saja. Keunikan lainnya yang bikin kesal sekaligus kagum (?) adalah saya seperti membaca novel terjemahannya John Green. Seriously. Saya seringkali merasa Ziggy hanyalah penerjemahnya. Percakapan absurd, lucu (tapi yang jenis bikin mikir dulu baru hahaha), serta kalimat-kalimat bernada sarkas dan sinis, membuat saya menyukai novel ini. Terus, percakapan antara Ansel dan Rani yang dituliskan dalam bahasa Inggris berikut terjemahannya. itu rasanya mengganggu tapi kok ya asyik aja untuk disimak. Sementara percakapan lainnya dituliskan dalam Bahasa Indonesia. Kenapa begitu? Entahlah... sampai halaman terakhir saya tidak bisa mendapatkan jawabannya. 

Dewi Karisma Michellia menyebutkan dalam endorsement-nya di sampul buku ini, bahwa buku ini cocok untuk yang sedang atau pernah bunuh diri. Saya lantas berpikir, oh...di dalam mungkin ada semacam panduan bagaimana menghindari atau mengatasinya. Semacam manual begitu. Tapi lagi-lagi saya salah. Nggak ada. Yang ada hanyalah pembaca dibawa untuk menyelami pikiran Rani yang cukup-absurd-tapi-benar-juga itu tentang mengapa dia ingin bunuh diri. Plus ada twist dari Ansel di bagian akhir buku ini. 

Saya sempat berpikir lama apakah saya ingin memberikan bintang 4 atau bintang 5 pada buku ini. Akhirnya saya tidak jadi memberikan nilai sempurna karena ya itu...saya kesal baca buku ini. Tapi ini kesal dalam artian bagus. Hanya ya tetap kesal saja... Ah sudahlah. Yang pasti buku ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca oleh para remaja atau orang dewasa. 



Be First to Post Comment !
Post a Comment