~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#522 Sophismata


Judul Buku : Sophismata
Penulis : Alanda Kariza
Halaman : 272
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


Sudah kurang lebih tiga tahun lamanya Sigi menjadi staf administrasi Johar Sancoyo, seorang anggota DPR Komisi VI. Selain Sigi, ada Catra dan Gilbert yang adalah Tenaga Ahli dan bekantor di ruangan yang sama. Bukannya tidak menyukai pekerjaannya, Sigi hanya merasa sudah saatnya dia mendapatkan promosi. Terutama karena dia merasa mampu untuk bekerja dalam tim Johan sebagai Tenaga Ahli.

Sayangnya, Johan tidak berpendapat sama. Baginya keberadaan Sigi di bagian administrasi sangat membantu pekerjaannya. Lagipula Sigi hanyalah lulusan S1, sedangkan untuk menjadi Tenaga Ahli dibutuhkan kualifikasi minimal S2. Sesuai saran Gilbert, Sigi mencoba mencari jalan lain agar dipandang oleh Johan. Dia mulai membaca informasi tentang Koperasi dan Kewirausahaan mengingat proyek besar Johan berikutnya ada di bagian itu.Sigi bahkan sempat tampil cemerlang di hadapan Unit Staf Kepresidenan kala Johan dan timnya sedang mempresentasikan suatu proyek untuk memuluskan langkah Johan menjadi calon Menteri.

Di kesempatan terpisah, Sigi bertemu dengan Timur, kakak kelasnya di SMA yang mengagumi Johar sebagai seorang tokoh politik. Timur sendiri sedang mendirikan partai politik bersama sejumlah anak muda lainnya. Pertemuannya kembali dengan Sigi mengingatkannya pada rasa sukanya terhadap Sigi bertahun-tahun lalu saat masih SMA. Mungkin sekarang ada jalan bagi mereka untuk bisa bersama.

Sophismata is a proposition of which the truth value is difficult to determine, because it is ambiguous, puzzling or simply difficult to interpret.

Saya mencari arti dari kata Sophismata sebelum membaca novel ini, dan menemukannya di sini. Kata ini sangat cocok dengan apa yang dialami Sigi ketika dia berhadapan dengan dunia politik. Bagi Sigi yang senang membuat kue, politik itu bisa dianalogikan sebagai proses membuat kue. Perlu persiapan yang matang. Tapi semakin lama berkecimpung di dunia politik membuat Sigi semakin membenci politik. Dia melihat bagaimana Johar lebih mengutamakan peluangnya menjadi Menteri daripada mengurusi kepentingan orang banyak. Atau ketika Johar tersandung masalah affair dengan seorang perempuan muda. 

Hidup Sigi adalah hitam dan putih. Sementara politik banyak bermain di wilayah abu-abu. Sebagai pembaca, saya memahami kekesalan Sigi yang dianggap tidak mumpuni hanya karena dia seorang perempuan dan berijazah S1. Saya pernah mengalami perasaan itu sewaktu saya masih seorang sarjana, dan melihat kemampuan kolega saya yang pendidikannya jauh lebih tinggi tidak lebih baik daripada apa yang saya bisa lakukan. Sebenarnya kalau Sigi memang hanya ingin hitam dan putih, ya dia tinggal memilih untuk terus atau keluar dari arena politik itu.

Untungnya ada Timur, yang bisa membantu Sigi memahami dunia politik yang dicintai Timur itu. Tadinya saya berharap akan ada konflik tersendiri antara Sigi dan Timur yang memiliki pandangan terhadap dunia politik yang berbeda. Tapi ternyata harapan saya ketinggian. Timur bisa menerima Sigi yang tidak menyukai politik, dan Sigi meski awalnya mempertanyakan mengapa Timur menyukai dunia politik, toh tidak mengganggu Timur dengan partainya. Seakan-akan romansa Timur dan Sigi hanya pemanis saja.

Yang membuat saya bertanya-tanya adalah kenapa akhirnya Johar memberikan lampu hijau kepada Sigi sebagai Tenaga Ahli? Apakah itu hanya sebagai permintaan maafnya belaka? Apakah aturan bahwa seorang Tenaga Ahli harus S2 benar-benar ada atau bisa diakali oleh si anggota DPR ini?

Terlepas dari kekurangan yang ada, novel ini cukup informatif. Premis dunia politik, partai, anggota DPR menjadi satu daya tarik karena rasanya belum ada novel yang mengangkat latar belakang seperti itu. Novel ini juga mencoba memperkenalkan bagaimana kerjanya seorang anggota DPR lewat sudut pandang seorang staf administratif. Untuk itu novel ini layak diberi bintang tiga. 


Be First to Post Comment !
Post a Comment