~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#539 Saving Francesca


Judul Buku : Saving Francesca (Tolong Aku Dong!)
Penulis : Melina Marchetta
Halaman : 296
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


Francesca Spinelli, 16 tahun, terpaksa harus bersekolah di St. Sebastian's, sekolah yang didominasi oleh siswa cowok. Tadinya sekolah itu memang sekolah khusus cowok, yang kemudian menerima siswa cewek kelas 11 untuk pertama kalinya. Francesca adalah salah satu dari tiga puluh cewek yang diterima disekolah itu. Sebenarnya Francesca ingin bersekolah di tempat lain, tetapi Mia, ibunya, menghendaki Francesca untuk berada di sekolah campuran. Dia nyaris tidak punya teman. Hanya ada 3 orang yang berasal dari St. Stella's yang juga bersekolah di St. Sebastian's. Mereka adalah Justine Kalinsky, cewek pemalu; Siobhan Sullivan, gadis liar; dan Tara Finke, sang feminis. Mungkin Francesca terpaksa bergaul dengan ketiganya.

Masalah Francesca bukan hanya itu saja. Suatu hari, ibunya tidak bangun dari tempat tidur seperti biasanya. Tidak seruan penyemangat. Tidak ada musik kesenangan ibunya. Menurut ayahnya, ibunya tidak sakit, dia hanya ingin beristirahat. Namun hal ini berlangsung berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan. Francesca tidak tahu apa yang terjadi pada ibunya. Luca, adiknya mengatakan ibunya menderita nervous breakdown. Kondisi rumah yang semakin kacau membuat Francesca merasa kehilangan arah. Apalagi ketika Nonna mulai mengambil alih. Luca harus tinggal dengan bibinya, sementara Francesca tinggal dengan nenek dari ayahnya. Kali ini bukan hanya ibunya yang membutuhkan pertolongan, tetapi Francesca juga.

Kasus-kasus depresi akhir-akhir ini sering muncul di media sosial. Belum banyak orang yang aware tentang hal ini. Kasus yang dialami oleh Mia Spinelli, misalnya. Dia tidak ingin bangun dari tempat tidurnya, tidak ingin makan, hanya berdiam diri dengan tatapan yang seringkali kosong. Mia bukan lagi sosok yang dikenal oleh anak-anaknya. Seringkali penderita depresi dianggap hanya bermalas-malasan, bahwa depresi ini hanyalah semacam periode yang nantinya akan berlalu dengan sendirinya. Padahal sebenarnya bukan hanya orang yang mengalami depresi saja yang menderita, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Inilah yang dialami Francesca, remaja yang sebenarnya masih berada dalam proses pencarian jati diri. Yang membutuhkan semangat, arahan, dan dorongan dari orang tuanya. Kondisi ini membuat Francesca berpikir dia harus melakukan sesuatu.

Ketika saya melakukan riset untuk mengulas novel Looking For Alibrandi, saya menemukan sebuah situs yang memuat wawancara dengan Melina Marchetta, penulis kedua novel best seller ini. Saving Francesca terbit kurang lebih 10 tahun setelah Looking For Alibrandi. Meskipun Marchetta menegaskan bahwa tidak akan ada sekuel untul LFA, dia mengakui menggunakan karakter Josephine Alibrandi untuk Mia Francesca. Baik Mia maupun Josie adalah sosok yang memiliki gambaran jelas tentang masa depannya, terarah, dan teratur. Dan yang saya dapatkan adalah bahkan seseorang dengan karakter kuat seperti Mia bisa jatuh terpuruk dalam rasa kegagalan. Saya menaruh simpati lebih pada karakter Mia, saya pribadi merasa terhubung dengannya. Terutama ketika dia akhirnya mengungkapkan apa yang dirasakannya pada Francesca, saya sampai menangis berurai air mata. 

Saving Francesca bukan hanya sebuah kisah suram tentang depresi semata. Ada persahabatan dan juga romansa. Francesca jatuh cinta pada seniornya, Will Trombal. Tapi Will punya pacar. Tapi Will mencium Francesca dua kali. Sebutan apa yang pantas diberikan pada cowok yang mencium cewek lain sementara dia punya pacar? Kemudian ada Thomas Mackee dan Jimmy Hailer yang kelihatannya hanya ingin mengganggu Francesca dan para gadis lainnya, namun kemudian mereka juga berperan penting dalam menyelesaikan masalah Francesca. Adegan favorit saya adalah saat Francesca mengusir hantu di lokasi retreat.

Seperti LFA, novel ini juga sudah pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2006. Novel ini juga memenangkan banyak penghargaan literasi dan diadaptasi menjadi film. Dan sekarang diterbitkan ulang oleh GPU, dengan cover yang lebih eye catching dan minim typo. Pada akhirnya saya ingin berterima kasih pada Melina Marchetta karena telah menulis novel ini. Saya merekomendasikan novel ini untuk dibaca, dikoleksi dan kemudian diwariskan pada anak-anakmu.



#538 Follow Me Back


Judul Buku : Follow Me Back
Penulis : A.V. Geiger
Halaman : 340
Penerbit : Spring 


Eric Thorn, penyanyi pop yang sedang naik daun, merasa ketakutan dengan penggemarnya yang obsesif. Hal ini mulai dirasakannya sejak berita tentang Dorian Cromwell, yang juga seorang penyanyi ditemukan tewas dibunuh oleh penggemarnya sendiri. Sementara dengan popularitas Eric yang sedang melejit, tim publisis dan manajernya menginginkan dia untuk lebih sering menyapa penggemarnya lewat akun twitter miliknya. Belum lagi dia dilanda kejenuhan akibat jadwal tour dan syuting yang sangat menguras tenaga.

Tessa Hart, gadis biasa yang selalu mengurung diri di dalam kamar akibat trauma masa lalu yang dialaminya. Sejak menjadi agorafobhia, dia tidak pernah meninggalkan kamarnya. Satu-satunya pelariannya adalah terjun ke dunia fandom seorang penyanyi bernama Eric Thorn. Dia bahkan membuat cerita tentang Eric dengan judul Terobsesi, dan memulai tagar #TerobsesiEricThorn di twitter. Siapa sangka cuitannya itu membuatnya menuai ribuan follower dan tagar yang dibuatnya menjadi trending topic

Eric tentu saja tidak suka dengan tagar #TerobsesiEricThorn yang semakin melejitkan namanya,. Dia harus menghentikannya. Dia mulai membuat akun baru di twitter untuk menyerang Tessa. Namun yang terjadi kemudian keduanya menjadi akrab. Tessa mungkin satu-satunya orang yang memahami perasaan ketakutannya, sementara Eric a.k.a Taylor menjadi teman curhat Tessa. Hanya saja Eric tidak mungkin harus berbohong selamanya jika dia mulai menaruh rasa pada sosok di balik akun @TessaHeartsEric.

Pertama-tama, saya mau memberikan bintang pada cover bukunya. Cakep maksimal deh. Salah satu alasan mengapa saya ingin membaca buku ini. Gambaran kesepian dan kesendirian Tessa terlihat jelas pada gambar sampul. Namun saat saya mulai membaca isi bukunya, saya beberapa kali berhenti dan "selingkuh" dengan buku-buku lain. Alurnya yang relatif lambat, kemajuan terapi Tessa yang lambat (yang lebih karena Tessa kurang berusaha), dan ketakutan Eric pada penggemarnya membuat saya tersendat-sendat membacanya. Tetapi semakin ke belakang, ketika muncul konflik selain hubungan Eric-Tessa, saya tidak bisa melepas buku ini sampai selesai.

Di sela-sela kisah Eric dan Tessa, ada semacam transkrip interogasi Kepolisian untuk Tessa dan Eric yang meyakinkan saya bahwa ada sesuatu yang besar menanti di bagian akhir cerita. Sesuatu yang membuat keduanya harus berurusan dengan polisi penyidik. Tapi kemudian transkrip ini pula yang membuat pembaca "digantung" karena kisah Eric dan Tessa akan berlanjut di buku kedua. Well...saya berharap Penerbit Spring akan segera menerjemahkan Tell Me No Lies, buku kedua dari duologi Follow Me Back. 


#537 Looking For Alibrandi


Judul Buku : Looking For Alibrandi (Mencari Jati Diri)
Penulis : Melina Marchetta
Halaman : 360
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Josephine Alibrandi, remaja berumur 17 tahun, warga negara Australia keturunan Italia. Dia bersekolah di sebuah sekolah katolik dengan bantuan beasiswa. Dia tinggal bersama ibunya, Christina Alibrandi, dan terkadang harus mengunjungi Nonna-nya (nenek) yang berpikiran kolot, bernama Katia Alibrandi. Josie tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Yang dia tahu, ayahnya meninggalkan ibunya saat hamil yang kala itu masih berumur 17 tahun. Mereka tidak pernah menikah. Karenanya ibunya selalu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Nonno (kakeknya). Ibunya diusir dari rumah, dan baru "diterima" kembali setelah Nonno meninggal dunia.

Karena lahir tanpa ayah itulah Josie sering menerima ejekan sebagai anak haram. Bahkan di sekolah sekarang juga seperti itu. Menjadi wog (sebutan untuk warga keturunan Italia) dan anak haram cukup membuat Josie merasa tidak sederajat dengan teman-temannya. Tapi sebenarnya Josie cukup berprestasi. Dia ditunjuk sebagai wakil kapten sekolah. Satu-satunya saingan terberatnya adalah sang kapten, Ivy, yang selalu berusaha tampil sempurna. Ivy juga berteman akrab dengan John Barton, cowok yang disukai Josie.

Masalah lain muncul ketika dia bertemu dengan ayahnya untuk pertama kali. Michael Andretti muncul di depan pintu rumah Nonna, dan berikutnya akan tinggal di Sidney selama beberapa waktu. Mulanya Josie ingin bersikap tidak peduli pada lelaki itu. Namun saat Josie terlibat maslaah di sekolah, dia teringat akan ayahnya yang seorang pengacara. Sejak itu Michael selalu hadir dalam hidup Josie. Ketika Josie mulai berpacaran dengan seorang pemuda Australia bernama Jacob Coote, lagi-lagi dia merasa hidupnya hanya berisi masalah. Misalnya ketika Jacob meminta Josie untuk tidur dengannya, Josie menolak karena baginya itu perbuatan yang salah.

"Selamat datang di era semmbilan puluhan, Josephine. Sekarang kaum wanita tidak perlu harus perawan lagi."
"Bukan, justru aku yang perlu memberimu ucapan selamat datang di era sembilan puluhan! Kaum wanita di zaman ini tidak bisa dipaksa-paksa melakukan hal yang tidak mereka inginkan."


Seperti judulnya, benang merah dari novel ini memang merupakan perjalanan Josie dalam mencari jati dirinya. Hidup dalam keluarga Italia yang mengutamakan keutuhan sebuah rumah tangga dan harus bersinggungan dengan masalah rasial tidak pernah mudah untuk seorang remaja seperti Josie. Satu karakter Josie yang saya kagumi adalah keteguhannya dalam memegang prinsip apa yang diyakininya benar. Beruntung Josie punya sahabat-sahabat yang menyenangkan seperti Sera, Lee dan Anna. Dan juga John Barton, yang berasal dari keluarga Australia kaya, namun mau mendengarkan keluh kesahnya.

Selain kehidupan Josie, kita diajak juga melihat satu sisi kehidupan remaja melalui John Barton. Pemuda cerdas, pandai, dan tumpuan harapan orang tuanya ini ternyata menyimpan depresi mendalam karena harus berusaha tampil selalu sempurna sesuai keinginan ayahnya. Baik Josie maupun John sama-sama menginginkan kebebasan. Itulah salah satu faktor yang bisa mendekatkan mereka.

Looking For Alibrandi pernah diterbitkan oleh GPU pada tahun 2004 dengan judul yang sama di bawah lini teenlit. Dan kali diterbitkan kembali sebagai novel remaja tanpa logo teenlit-nya. Saya suka sekali dengan sampulnya yang berwarna biru putih. Jauh lebih kece dibandingkan terbitan sebelumnya. Meski berlatar tahun 90-an, novel ini layak dibaca oleh remaja masa kini. Ada banyak pelajaran tentang keluarga, persahabatan, percintaan bahkan mengatasi tekanan hidup di dalamnya. Recommended!