Rara, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pandawa, mempersiapkan kanal Youtube dengan konten bermanfaat yang harus bisa mengimbangi gempuran konten sampah yang beredar di masyarakat. Bersama kedua sahabatnya, merke bukan hanya sekadar mengerjakan tugas akhir mata kuliah Publisitas itu untuk mendapatkan nilai terbaik. Rara punya harapan besar dengan hadiah yang dijanjikan dari kompetisi bergengsi kolaborasi kampusnya dengan Change TV.
Terlahir dari keluarga miskin, Rara memutuskan untuk kuliah di Jakarta, meski kedua orang tuanya tidak merestuinya. Dukungan Indah, kakaknya yang juga tinggal di Jakarta, menjadi dorongan kuat bagi Rara. Indah membantu Rara untuk kebutuhannya di Jakarta, disamping beasiswa yang diperoleh Rara dan juga pekerjaan paruh waktu yang dilakukannya. Jika chanel Soul Diary yang digagasnya bisa menang, masalah keuangan bisa teratasi. Namun saingan terberat mereka adalah chanel milik DIva, teman sekelasnya, yang memiliki keluarga kelas sosialita. Diva jelas memiliki semua sumberdaya yang bisa mendukungnya. Jika dibaratkan lomba lari, Rara dan Diva tidak berangkat dari garis start yang sama.
Rara memilih mengangkat tema kesehatan mental di dalam chanel Youtubenya. Dia dibantu oleh seorang psikolog muda bernam Giri. Berbagai kasus mereka tayangkan untuk memberikan edukasi pentingnya memeprhatikan kesehatan mental seperti halnya kesehatan fisik. Tanpa Rara sadari, dirinya sendiri tengah bergelut dalam insecurity akan kemiskinannya. Sementara itu, Indah juga sedang bergumul dengan konflik rumah tangganya. Apakah impian mereka untuk bisa memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup tidak bisa mereka raih?
Novel ini sangat bergizi. Ada tiga topik utama yang bisa saya pelajari dari novel ini. Yang pertama tentang sisi psikologis dan kesehatan mental. Bukan hanya satu contoh kasus yang dialami oleh tokoh utama, tapi ada beberapa kasus lainnya yang juga diangkat dalam novel ini. Yang kedua, tentang privilese, seperti judulnya. Seringkali kita memahami privilese itu sebatas ketersediaan materi dan sumber daya. Padahal setiap orang pasti terlahir dengan privilese-nya masing-masing. Kita sering terjebak memandang kelebihan orang lain dan hal-hal di luar kuasa kita, lalu mengecilkan privilese yang kita punya dan tidak berbuat apa-apa, padahal hal itu ada dalam kendali kita. Yang ketiga, bahwa tiap orang punya lintasan pertandingannya masing-masing. Saya mengutip paragraf terakhir dalam novel ini yang bisa kita jadikan pelajaran.
Siapa pun kita, hidup tak akan pernah mudah. Namun, semesta selalu membuka celah bagi mereka yang menolak menyerah.
Meski berada pada lini Young Adult, saya rasa novel ini bisa juga dibaca untuk orang dewasa. Bahkan oleh orangtua muda, karena ada ilmu parenting yang bisa diterapkan di dalamnya. Ini salah satu novel terbaik yang saya baca di tahun 2022.
The Privileged Ones
Mutiarini
248 halaman
Gramedia Pustaka Utama
Maret, 2022