Judul Buku : Fateless
Penulis : Imre Kertész
Halaman : 423
Penerbit : Bentang Pustaka
Pada bulan Oktober ini, hasil polling BBI menetapkan bahwa untuk posting bareng adalah review buku-buku dari para pemenang Nobel Sastra. Kebetulan, saya mendapat pinjaman buku karya pemenang Nobel Sastra tahun 2002, Imre Kertész. Imre mendapatkan hadiah Nobel atas novel pertamanya yang berjudul Sorstalanság (Fateless) yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1975. Buku yang juga masuk dalam daftar 1001 buku yang harus dibaca sebelum meninggal ini bercerita tentang pengalaman seorang anak berkebangsaan Hungaria (tetapi memiliki darah Yahudi) di masa Holocaust (pemerintahan Nazi). Tetapi, tidak seperti buku-buku dengan tema holocaust lainnya, buku ini justru melihat sisi lain dari masa kekejaman Nazi tersebut.
Dalam buku ini, yang menjadi tokoh utama adalah George Koves. Pemuda berusia 14-15 tahun ini menceritakan pengalamannya sejak dia pertama kali menghadapi kenyataan bahwa dia harus menggunakan "bintang kuning" (tanda pengenal bagi orang Yahudi), ayahnya yang harus ikut dalam kamp konsentrasi, sampai ketika dia sendiri masuk ke dalam kamp konsentrasi tersebut. Pembantaian massal, penyiksaan, dan pelecehan terhadap hak asasi manusia berlangsung di hadapannya. Tapi dari sudut pandang George semua itu adalah sebuah dunia yang wajar. Menurut George kesedihan dan kegembiraan, peristiwa demi peristiwa masing-masing punya hak yang sama untuk hadir dalam kehidupan manusia.
Ketika dia mendapat informasi bahwa nomor-nomor yang dituliskan pada kulit orang-orang di kamp adalah nomor telepon surga, George menerima hal itu walaupun dengan perasaan heran. Atau ketika dia diberitahu bahwa bangunan bercerobong yang mengeluarkan aroma "sup kental" itu adalah krematorium untuk orang-orang yang terkena penyakit tertentu, George hanya berpikir, "epidemi apa yang terjadi di tempat ini sehingga membutuhkan begitu banyak ruangan bercerobong?". Tidur beralaskan jerami dan kain kanvas tua bisa membuat George bermimpi indah (bahkan menyebutnya sebagai masa keemasan). Dan ketika di satu waktu George mengalami penyakit kulit yang menyebabka dia harus dipindahkan dari kamp ke rumah sakit , dia malah mengatakan
aku ingin sekali bisa hidup lebih lama di kamp konsentrasi yang indah ini!
George tinggal di kamp konsentrasi selama kurang lebih satu tahun lamanya. George beruntung (atau malah sial baginya) bisa dapat pulang dan menemukan kembali keluarga besarnya. Ketika dia diwawancarai oleh sebuah surat kabar yang "menuntut" dia untuk menceritakan kekejaman yang terjadi di kamp, George malah bersikukuh bahwa apa yang dialaminya itu adalah hal yang biasa.
Walaupun novel ini dituliskan dalam gaya bernarasi yang sedikit membosankan karena kurangnya dialog, tetapi melihat kamp konsentrasi dalam pandangan yang berbeda memberikan pengalaman baru bagi saya. Melalui buku ini saya juga belajar bahwa apapun cara pandang kita, meski itu berbeda dengan orang kebanyakan, hal itu bukanlah masalah. Tidak heran jika penulisnya mendapatkan hadiah Nobel, sesuai dengan kutipan berikut ini
The Nobel Prize in Literature 2002 was awarded to Imre Kertész "for writing that upholds the fragile experience of the individual against the barbaric arbitrariness of history".
Fateless sendiri sudah pernah difilmkan pada tahun 2005 dengan judul yang sama, dimana Imre Kertész yang menulis screenplay-nya. Filmnya menjadi special presentation di beberapa ajang film internasional antara lain Berlin Film Festival 2005, Toronto International Film Festival, Chicago International Film Festival 2005, dan AFI Los Angeles Film Festival 2005.
Imre Kertész
Lahir di Budapest pada 9 November 1929. Karena dalam tubuhnya mengalir darah Yahudi, dia dideportasi ke Auschwitz lalu ke Buchenwald, dan dibebaskan pada tahun 1945. Sekembalinya ke Hungaria, dia bekerja pada sebuah surat kabar Budapest, Vilagossag, pada 1948 namun dipecat pada 1951 ketika perusahaan itu menganut ideologi partai. Setelah dua tahun menjalani dinas militer, dia mencari nafkah sebagai penulis lepas dan penerjemah karya para pengarang Jerman seperti Nietzsche, Hofmannsthal, Schintzler, Freud, Roth, Wittgenstein dan Canetti yang semuanya memiliki pengaruh dalam karya-karyanya sendiri.
pada 1975, novel pertamanya, Sorstalanság (Fateless, 1992) dipublikasikan. Karya ini didasarkan pada pengalamannya di Auschwitz, Buchenwald dan Zeitz. Bagaimanapun juga, Kertész menyatakan bahwa dia menggunakan gaya novel autobiografis, tetapi karya itu sendiri bukanlah autobiografi. Awalnya tidak ada yang mau menerbitkan Sorstalanság, dan ketika diterbitkan hanya mendapatkan sambutan dingin. Sebenarnya novel ini mempunyai kelanjutannya pada dua buku berikutnya yaitu A kudarc (Fiasco, 1988) dan Kaddis a meg nem szuletettett gyermekert (Kaddish dor a Child not Born, 1997).
Setelah kericuhan politik di Hungaria pada 1989, Kertész malah sering tampil di depan publik. Penghargaan Nobel di bidang Sastra pada tahun 2002. Selain itu dia juga dianugerhai The Bradenburger Literaturpreis (1995), The Leipziger buchpreis zur Europaischen Verstandigung 91997) dan The WELT-Literaturpreis (2000).
Terima kasih untuk @chrissst yang sudah meminjamkan bukunya :)