~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#594 Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982


Isu feminisme di negara yang menjunjung patriarki akan selalu mengundang kontroversial. Demikian pula yang terjadi di Korea Selatan, ketika novel ini terbit pertama kali pada tahun 2016. Seorang selebritis Korea, Irene Red Velvet,  yang terlihat membaca novel ini sempat mendapatkan bullying dari netizen. Saya sendiri tertarik ingin membaca novel ini karena informasi yang beredar dan karena tagline "lahir tahun 1982" itu. Soalnya saya juga lahir di tahun yang sama.

Kim Ji-Yeong adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya seorang perempuan, dan adiknya seorang laki-laki. Perlakuan yang diterima oleh Ji-Yeong dan kakaknya tidak seistimewa yang diterima oleh adik laki-laki. Sebagaimana seorang perempuan Korea dibesarkan, Ji-Yeong dan kakaknya harus mulai membantu ibu mereka sejak usia dini. Sementara si adik laki-laki tidak perlu. Dalam urusan pembagian makanan pun, adik laki-laki selalu mendapatkan bagian terbaik.

Bukan hanya di rumah, di sekolah perlakuan yang diterima oleh murid perempuan tidak sama dengan murid laki-laki. Meski beberapa kali murid perempuan berusaha melawan, tapi upaya mereka akhirnya akan padam. Ji-Yeong sendiri beberapa kali meneriakkan protes, tapi hanya disimpan di dalam hatinya. Dia tidak mampu bersuara. Hingga akhirnya Ji-Yeong menikah, lalu mempunyai anak. Ji-Yeong harus melepas pekerjaan yang diperolehnya dengan susah payah. Ji-Yeong mengalami depresi, tapi tetap diam.

Puncak depresi yang dialami Ji-Yeong akhirnya memaksanya untuk bersuara. Tapi suara itu bukan keluar dari pribadi Ji-Yeong. Dia berkata-kata seperti orang lain. Suaminya menjadi bingung, dan akhirnya membawanya ke psikolog.

Somehow, ada beberapa kali saya mengambil jeda saat membaca novel ini. Dengan usia yang kurang lebih sama dengan sosok Kim Ji-Yeong, saya dengan mudah menaruh kaki dalam sepatunya. Sosok ibu Kim Ji-Yeong yang membanting tulang mencari tambahan nafkah bagi keluarga sama persis dengan ibu saya. Saya lantas bersyukur, meski hidup di Indonesia yang masih menganut patriarki, setidaknya kesetaraan gender telah saya alami. Tapi ada satu kalimat di bagian akhir novel ini yang paling menohok buat saya, yang masih saya (dan teman-teman perempuan lainnya di tempat kerja) alami dan sering mendapatkan sorotan dari pimpinan.

"Sebaik apa pun orangnya, pekerja perempuan hanya akan menimbulkan banyak kesulitan apabila mereka tidak bisa mengurus masalah pengasuhan anak." (hlmn. 175)

Novel ini dilengkapi dengan banyak catatan kaki, yang seakan-akan membuat novel ini terasa seperti sebuah esai. Lalu ada sebuah ulasan di bagian akhir novel yang membuat pembaca bisa lebih memahami kondisi yang dialami oleh Kim Ji-Yeong.

Terjemahan versi Indonesia lebih duluan terbit dibandingkan terjemahan Inggris-nya. Terima kasih GPU yang sudah gerak cepat, sehingga novelnya bisa terbit hampir bersamaan dengan tayangnya film adaptasi novel ini. Tapi sebagai penganut paham baca dulu baru nonton, menuntaskan buku ini wajib dilakukan sebelum menonton filmnya.

Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982
Cho Nam-Joo
192 halaman
Gramedia Pustaka Utama
November, 2019


#593 Lusifer! Lusifer!


Markus Yonatan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Ayahnya seorang diaken, ibunya pekerja gereja. Kakaknya, Matius Abraham adalah seorang pemimpin barisan pendoa. Ketiga orang dalam keluarga Markus tersebut telah mengalami lahir baru. Dahulu ayahnya sering berganti perempuan, sementara ibunya mencari pelarian di racun serangga. Namun sejak Matius Abraham mendapatkan penglihatan dan lahir baru, ayah dan ibunya pun mulai berubah. Tidak ingin menjadi beban dalam keluarga, Markus Yonatan memutuskan untuk ikut lahir baru.

Markus Yonatan dulunya punya seorang kakak rohani, bernama Singa Yehuda. Tapi Singa Yehuda lebih suka dipanggil SY saja, karena baginya nama yang menyimbolkan Yesus Kristus itu terlalu berat baginya. Tugas SY adalah membimbing Markus Yonatan agar lebih dekat pada Tuhan dan menjauhi urusan duniawi. SY punya seorang adik perempuan bernama Mawarsaron. Sikap Mawarsaron ternyata berbeda dengan keluarganya. Dia tidak ingin terlibat dalam persekutuan di gereja. Puncaknya ketika Mawarsaron dianggap telah dirasuki oleh tiga jenis iblis. Empat belas orang terpilih menjadi tim barisan pendoa untuk membebaskan Mawarsaron dari kuasa iblis. Markus Yonatan salah satu diantaranya. Di tengah situasi pelik melawan kuasa iblis, Markus dihadapkan pada pilihan. Iman kepercayannya atau logika akal sehat.

Saya melihat buku ini pertama kali di instastory-nya Dewi Lestari. Lantas saya memasukkannya ke dalam wishlist setelah membaca sinopsisnya. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam keluarga Kristiani, latar belakang yang diangkat dalam novela ini cukup akrab bagi saya. Meskipun tata ibadah di gereja saya bukan karismatik, namun saya cukup tahu mengenai hal tersebut.

Mengejutkan. Itu kesan pertama saya saat membaca novela ini. Saya bisa memahami pikiran Markus Yonatan saat dia merasa sebagai "anak hilang". Dalam novela ini digambarkan ada keluarga yang menyepelekan sisi humanis pada hubungan antara orangtua dan anak, hanya karena kesibukan mereka melayani Tuhan. Penulis berani mengangkat fanatisme dalam agama minoritas disandingkan langsung dengan kemanusiaan. 

Meskipun novela ini banyak menyebutkan istilah keagamaan khususnya Kristen Protestan karismatik, berikut prosesi ibadah atau ritualnya, membacanya tidak akan membingungkan. Saya suka dengan novela ini, dan memasukkannya dalam salah satu bacaan favorit saya tahun ini. 

Lusifer! Lusifer!
Venerdi Handoyo
138 halaman
Post Press
Juli, 2019


#592 Syrian Brides


Syrian Brides is a debut from Anna Halabi, a Syrian who currently lives in Germany with her family. This book contains 14 short stories about Syrian women, all of them married women or brides to be who lives in Syrian.

I honestly don't know much about culture in Syria, and reading this collection of short stories enlightens me. From some articles I read, patriarchal culture in Syria makes women in the second classes. Likewise, in this anthology, women must submit under the hands of their husbands. In the story of The Groom's Miracle, it is told of a wife who was locked up by her husband, was afraid she might stray if he let her out. Also in the The Groom's Hand which depicts a light-handed husband but always compensates luxury items for his wife.

The issue of polygamy was also discussed in one of the short story entitled The Bride's Maid. Khadija is 7 months pregnant and wants a maid. When her husband returned with a beautiful girl, Khadija was worried. Until then her husband wanted to marry the girl on the grounds of maintaining their honor. 

I understand that Syrian cultures are influenced by Arabic culture, so does about the marriage. If you curious about that, you should read this book. This collection of short stories gives readers a unique insight into the Syrian culture. Although generally raised about household issues that are gloomy, but there are also stories that make me smiles and even laugh. My favorite is Nobody's Bride, about a clever woman who robbed two sellers at about the same time.

I hope this anthology can be translated into Indonesian. But you can buy the paperback on Amazon and the digital version in Google Play  Hopefully Anna can continue to produce other work about Syrian culture. Thank you Anna for providing me this book. 

Syrian Brides
Anna Halabi
132 pages (Kindle edition)
Petra Books
November, 2018