Seorang wanita bernama Canting menuliskan kisah sahabatnya, Isah. Isah terlahir dengan nama Piranti pada tahun 1850 di kampung para penjahit dalam lingkungan keraton Yogyakarta. Meski ibunya tidak mengatakannya secara langsung, Piranti mengetahui ayahnya adalah seorang bupati, namun keberadaannya dan ibunya tidak diakui oleh ayahnya. Sehari-harisebagai abdi dalem, ibunya membatik dan menjahit pakaian perempuan di dalam keraton. Piranti tumbuh bersama putri-putri keraton, tapi tentu saja tidak memiliki nasib yang sama dengan mereka. Seringkali Piranti harus mengalah kepada kawan sepermainannya, Karsinah dan Yatmi. Keduanya adalah putri keraton dan cucu Sultan. Misalnya, ketika Suko, monyet peliharaan Piranti harus diberikan kepada Karsinah. Karena kedudukan Karsinah lebih tinggi, maka dia memiliki hak lebih banyak dibandingkan Piranti, termasuk hak memiliki Suko.
Seperti hal-nya banyak perempuan Jawa di masa itu, ketika anak gadis menginjak usia 13 tahun, maka sudah selayaknya dia dinikahkan. Awalnya, Piranti mendengarkan bahwa Karsinah akan dinikahkan dengan seorang bangsawan. Tidak lama kemudian, Piranti pun mendengar kabar dirinya juga akan dijodohkan dengan seorang pria tua, dan Piranti akan menjadi istri kedua. Piranti menolak rencana itu, meski Ibunya tetap saja melangsungkan niatnya bersama seorang wanita mak comblang. Dalam upaya penolakannya dia lebih sering keluar dari keraton, dan akhirnya bertemu dengan seorang pria Belanda bernama Gey. Singkat cerita, Piranti pun menjadi nyai bagi Gey dan namanya berubah menjadi Isah. Piranti berpisah dari ibunya, dan memulai hidupnya sebagai seorang nyai.
Novel ini memang mengisahkan jalan hidup Piranti atau Isah. Tentang upayanya memerdekakan dirinya, tetapi akhirnya tetap terbelenggu oleh adat yang berlaku di masyarakat. Sebagai seorang nyai, dia tidak mendapatkan kedudukan apa-apa, kecuali Gey menikahinya. Namun, meski telah melahirkan dua anak perempuan, Gey tetap meninggalkannya untuk menikahi seorang wanita di negeri Belanda. Isah sekali lagi menunjukkan kekuatannya, mempertahankan anak-anaknya selama mungkin di sisinya. Meski akhirnya dia harus berkorban demi kehormatan yang bisa diraih oleh dua orang anak perempuannya. Di sisi lain, di dalam novel ini juga ada banyak simbolisme Jawa yang diutarakan oleh Isah lewat corak batiknya, perilaku-perilakunya sehari-hari, dan juga mimpi-mimpinya.
Saya sempat mengabaikan novel ini, namun menemukan semangat untuk membacanya lagi di awal tahun 2024. Dan memang semakin ke belakang, novel ini semakin menarik diikuti. Bagian paling menyedihkan buat saya adalah ketika Isah harus berpisah dengan kedua putrinya yang masih kecil. Kedua anaknya yang berkulit lebih putih dari Isah, bisa mendapatkan kesempatan untuk meraih posisi lebih tinggi di masyarakat. Novel ini benar-benar memukau tentang pencarian posisi, hasrat dan identitas di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Lebih Putih Dariku
Dido Michielsen
288 halaman
Marjin Kiri
Januari, 2022