Chebbhing masih berusia 14 tahun saat acara pernikahannya digelar. Sebelum dirias, Chebbhing diminta menyalakan damar kambang, sebuah pelita yang sumbunya mengambang di atas minyak. Pelita ini memiliki makna yang dalam untuk mengawali rumah tangga. Sayangnya, damar kambang Chebbhing berkali-kali mati. Mungkin itu sebuah pertanda ketidaklancaran acara pernikahannya. Ayahnya menolak pengantin laki-laki yang datang hanya membawa hantaran bantal dan tikar.
Kacong, si pengantin pria merasa terhina. Bukannya dirinya dan keluarganya tak sanggup membawa sebuah rumah sebagai hantaran, hanya saja adat istiadat kampung mereka berbeda. Calon mertuanya bahkan tak mau berunding. Sakrah, paman Kacong, segera bertindak. Dia mencari orang pintar untuk membalaskan dendam itu. Di rumahnya, Chebbhing merasa dirinya bagaikan barang yang ditelantarkan. Pernikahannya batal sebelum dia menginjak tempat resepsi, orang tuanya diam dan pergi mengurusi hal lain. Sayup-sayup Chebbhing mendengar suara memanggil namanya. Dia lantas melarikan diri dari rumah dan pergi menemui Kacong. Kacong menerimanya, membuatnya tinggal di rumah orangtuanya, dan menikmati apa yang seharusnya mereka lakukan jika saja pernikahan itu tidak dibatalkan.
Tapi ayah Chebbhing datang menjemput anaknya dengan paksa. Dia diseret pulang. Berkali-kali Chebbhing melarikan diri, sampai akhirnya dia dipasung dan dirantai. Ayahnya tidak tinggal diam, dia mencari dukun yang mampu menyembuhkan anaknya. Sampai ketika, Ke Bulla, seorang kiai terpandang memberikan pengobatan. Chebbhing akan dinikahkan secara siri sebagai istri ketiga sang Kiai jujungan keluarganya. Tapi pernikahan ini harus dirahasiakan dari khalayak umum. Jangan sampai istri pertama dan kedua Kiai mendengarnya.
Mengulas tradisi pernikahan di Madura, membuat saya tertarik untuk membaca novel ini. Chebbhing , salah satu tokoh dalam novel ini dinikahkan dalam usia belia. Sebagai anak gadis, Chebbhing layak mendapatkan mahar yang mahal. Minimal sebuah rumah untuk tempat Chebbhing dan suaminya tinggal nantinya. Saya setuju dengan sebagian filosofi rumah sebagai hantaran, seperti penjelasan Ibunya Chebbhing . Rumah sebagai simbol kesetiaan, keamanan, bentuk didikan agar lelaki belajar hidup mandiri dan bertanggung jawab sebelum menikah. Ini memang logis dan masuk di akal. Tetapi mengibaratkan seorang anak perempuan sebagai burung yang harus disediakan sangkarnya, agar dia memperoleh batasan-batasan kebebasan, sekligus menjadi hak milik seorang tuan, saya kurang sependapat. Tetapi di kampung Chebbhing , jika hanya bermodalkan bantal dan tikar, akan menjadi cibiran tetangga. Tidak mungkin anak gadis dijual murah kepada calon keluarga suaminya.
Cinta ditolak dukun bertindak. Dunia mistis masih kental dalam novel ini. Kayaknya semua masalah harus diselesaikan dengan bantuan dukun. Sebenarnya bukan hanya kisah Chebbhing dalam novel ini. Masih ada setidaknya dua perempuan lain dengan masalah pernikahan mereka masing-masing, tapi masih terhubung dengan Chebbhing . Yang satu adalah Ibunya Kacong, dan satu lagi adalah istri kedua Kiai. Masalahnya, kisah ketiga perempuan ini masing-masing menggunakan POV orang pertama, tapi tidak ada pembeda antara kisah mereka. Baik itu sekadar huruf atau gaya bahasanya. Jadinya kadang saya bingung, perempuan yang mana bercerita kali ini. Lalu ada lagi muncul "satu orang" bernarasi- ditandai dengan huruf dicetak miring -yang seakan-akan dialah yang menceritakan keseluruhan kisah dalam Damar Kambang ini.
Saya kurang puas dengan akhir kisah dalam novel ini. Rasanya masih banyak persoalan yang belum dibereskan, dan masih banyak pertanyaan belum terjawab. Meski pada akhirnya damar kamang milik Chebbhing menyala dengan sempurna di rumahnya.
Damar Kambang
Masyari Muna
Masyari Muna
208 halaman
Kepustakaan Populer Gramedia
Desember, 2020