~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#633 Damar Kambang


Chebbhing masih berusia 14 tahun saat acara pernikahannya digelar. Sebelum dirias, Chebbhing diminta menyalakan damar kambang, sebuah pelita yang sumbunya mengambang di atas minyak. Pelita ini memiliki makna yang dalam untuk mengawali rumah tangga. Sayangnya, damar kambang Chebbhing berkali-kali mati. Mungkin itu sebuah pertanda ketidaklancaran acara pernikahannya. Ayahnya menolak pengantin laki-laki yang datang hanya membawa hantaran bantal dan tikar.

Kacong, si pengantin pria merasa terhina. Bukannya dirinya dan keluarganya tak sanggup membawa sebuah rumah sebagai hantaran, hanya saja adat istiadat kampung mereka berbeda. Calon mertuanya bahkan tak mau berunding. Sakrah, paman Kacong, segera bertindak. Dia mencari orang pintar untuk membalaskan dendam itu. Di rumahnya, Chebbhing merasa dirinya bagaikan barang yang ditelantarkan. Pernikahannya batal sebelum dia menginjak tempat resepsi, orang tuanya diam dan pergi mengurusi hal lain. Sayup-sayup Chebbhing mendengar suara memanggil namanya. Dia lantas melarikan diri dari rumah dan pergi menemui Kacong. Kacong menerimanya, membuatnya tinggal di rumah orangtuanya, dan menikmati apa yang seharusnya mereka lakukan jika saja pernikahan itu tidak dibatalkan.

Tapi ayah Chebbhing datang menjemput anaknya dengan paksa. Dia diseret pulang. Berkali-kali Chebbhing melarikan diri, sampai akhirnya dia dipasung dan dirantai. Ayahnya tidak tinggal diam, dia mencari dukun yang mampu menyembuhkan anaknya. Sampai ketika, Ke Bulla, seorang kiai terpandang memberikan pengobatan. Chebbhing akan dinikahkan secara siri sebagai istri ketiga sang Kiai jujungan keluarganya. Tapi pernikahan ini harus dirahasiakan dari khalayak umum. Jangan sampai istri pertama dan kedua Kiai mendengarnya.

Mengulas tradisi pernikahan di Madura, membuat saya tertarik untuk membaca novel ini. Chebbhing , salah satu tokoh dalam novel ini dinikahkan dalam usia belia. Sebagai anak gadis, Chebbhing layak mendapatkan mahar yang mahal. Minimal sebuah rumah untuk tempat Chebbhing dan suaminya tinggal nantinya. Saya setuju dengan sebagian filosofi rumah sebagai hantaran, seperti penjelasan Ibunya Chebbhing . Rumah sebagai simbol kesetiaan, keamanan, bentuk didikan agar lelaki belajar hidup mandiri dan bertanggung jawab sebelum menikah. Ini memang logis dan masuk di akal. Tetapi mengibaratkan seorang anak perempuan sebagai burung yang harus disediakan sangkarnya, agar dia memperoleh batasan-batasan kebebasan, sekligus menjadi hak milik seorang tuan, saya kurang sependapat. Tetapi di kampung Chebbhing , jika hanya bermodalkan bantal dan tikar, akan menjadi cibiran tetangga. Tidak mungkin anak gadis dijual murah kepada calon keluarga suaminya.

Cinta ditolak dukun bertindak. Dunia mistis masih kental dalam novel ini. Kayaknya semua masalah harus diselesaikan dengan bantuan dukun. Sebenarnya bukan hanya kisah Chebbhing dalam novel ini. Masih ada setidaknya dua perempuan lain dengan masalah pernikahan mereka masing-masing, tapi masih terhubung dengan Chebbhing . Yang satu adalah Ibunya Kacong, dan satu lagi adalah istri kedua Kiai. Masalahnya, kisah ketiga perempuan ini masing-masing menggunakan POV orang pertama, tapi tidak ada pembeda antara kisah mereka. Baik itu sekadar huruf atau gaya bahasanya. Jadinya kadang saya bingung, perempuan yang mana bercerita kali ini. Lalu ada lagi muncul "satu orang" bernarasi- ditandai dengan huruf dicetak miring -yang seakan-akan dialah yang menceritakan keseluruhan kisah dalam Damar Kambang ini.

Saya kurang puas dengan akhir kisah dalam novel ini. Rasanya masih banyak persoalan yang belum dibereskan, dan masih banyak pertanyaan belum terjawab. Meski pada akhirnya damar kamang milik Chebbhing menyala dengan sempurna di rumahnya.

Damar Kambang
Masyari Muna
208 halaman
Kepustakaan Populer Gramedia
Desember, 2020


 

#632 Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam



Tidak biasanya Magi Diela pulang malam. Pekerjaannya sebagai penyuluh pertanian honorer memang mewajibkannya mengunjungi kelompok tani, bahkan yang jauh dari rumahnya. Tapi hari itu berbeda. Magi ditangkap oleh Leba Ali. Dia mengalami yappa mawine, sebuah kondisi yang disebut juga sebagai kawin tangkap di Sumba. Magi Diela diculik, ditangkap, untuk dikawini. 

Kawin tangkap adalah satu budaya di Sumba dimana anak perempuan dapat ditangkap oleh pihak laki-laki yang akan meminangnya untuk mempersingkat urusan adat agar tidak memakan waktu yang lama menuju perkawinan. Namun, umumnya kedua pihak keluarga telah memiliki kesepakatan untuk menempuh cara ini. Ada pula yang menyebutkan bahwa hal itu dapat dilakukan jika pihak laki-laki gagal mencapai kesepakatan. Dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, budaya ini tentu saja merugikan pihak perempuan. 

Magi Diela yang diculik oleh Leba Ali, pria paruh baya yang memang telah mengincarnya sejak Magi masih SD. Leba Ali memberikan sejumlah hewan sebagai belis kepada keluarga Magi. Ama Bobo, ayah Magi, mau tak mau menerima perkawinan ini karena tidak ingin dianggap melanggar adat. Apalagi Magi telah ditahan di rumah Leba Ali selama dua hari. Tentunya Magi sudah tidak perawan lagi. Laki-laki mana yang mau menikahi anak perempuan yang sudah tidak perawan. 

Magi memang telah dinodai oleh Leba Ali dalam keadaan tidak sadar setelah dirinya diculik. Magi merasa harga dirinya runtuh. Dia tidak ingin menikah dengan Leba Ali. Dia memilih lebih baik mati apalagi karena keluarganya sendiri, terutama Ama Bobo, ayah yang dihormatinya lebih mementingkan adat budaya daripada anak perempuannya. Magi menggigiti pergelangan tangannya untuk memutuskan pembuluh nadi. Sayangnya, upaya Magi mengakali maut dapat dihindari. Dirinya berhasil diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit. Dangu Tida, sahabat Magi melaporkan tindakan penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan Leba Ali kepada kepolisian. Meski demikian, Leba Ali yang awalnya ditangkap oleh polisi, bisa melenggang bebas karena koneksinya yang kuat dengan bupati setempat. Parahnya lagi, perkawinan Magi dengan Leba Ali tetap akan dilangsungkan, karena tikar adat telah digelar. Satu-satunya cara menghindari pernkawinan itu adalah dengan melarikan diri. Ditolong oleh Dangu dan Tara, iparnya, Magi melarikan diri meninggalkan kampungnya. Dia ditolong oleh kelompok LSM Gema Perempuan yang menampungnya dalam pelarian sampai kondisi aman. Magi merasa dirinya terusir dari tanah kelahirannya, harga yang sangat mahal dibayarnya untuk kebebasan. 

Di halaman sampul novel ini ada tulisan "trigger warning". Meski saya sudah mencoba menyiapkan diri dengan apa yang akan saya baca, tetapi membaca kisah Magi Diela tetap saja terasa terlalu kejam. Saya sampai mimpi buruk setelah membaca separuh dari novel ini. Di halaman terakhir saya juga memberikan apresiasi kepada Magi. Dia perempuan yang berani. Memilih jalan gelap dan sunyi menentang adat demi kehormatannya sebagai manusia.  

Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam adalah novel kedua yang saya baca dengan tema perkawinan adat. Sebelumnya ada Pengantin Pesanan di Singkawang yang mengulas tentang budaya perkawinan yang merugikan pihak perempuan. Novel ini memang fiksi, tapi praktik budaya kawin tangkap masih terjadi di Sumba, NTT. Sebuah artikel di Magdalene mengulas tentang fenomena adat ini. Ternyata ada pergeseran dari adat-istiadat sesungguhnya dalam kawin tangkap ini. Budaya patrarki yang menganggap wajar saja apabila laki-laki mengedepankan ego, dominasi dan kekerasan membuat pelaku merasa memiliki kebebasan untuk melakukan pemaksaan dan intimidasi, bahkan kekerasan seksual kepada perempuan yang ditangkapnya. Inilah yang dilakukan oleh Leba Ali, karakter dalam novel ini yang bersembunyi di balik budaya untuk melegalkan perbuatan bejatnya. Kabar terakhir yang saya baca, pejabat pemerintah daerah Pulau Sumba sudah menyepakati untuk menolak praktik kawin tangkap demi melindungi hak perempuan dan anak. Semoga tidak ada lagi Magi di dunia nyata yang terpaksa harus meberikan tangisnya kepada bulan hitam. 


Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Dian Purnomo
320 halaman
Gramedia Pustaka Utama
November, 2020