Judul Buku : Emakku Bukan Kartini
Penulis : Hasanudin Abdurakhman
Halaman : 316
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Di belakang seorang pria sukses, berdiri wanita yang hebat. Pepatah ini mungkin sudah sering kita dengarkan. Demikian pula yang terjadi dalam hidup Hasanudin Abdurakhman, seorang Doktor di bidang Fisika, lulusan Tohoku University, Jepang.
Wanita hebat itu adalah Emak, seorang ibu dari delapan orang anak yang tinggal di pesisir selatan Kalimantan Barat. Emak dan Ayah bukanlah orang berada, tetapi mereka pekerja keras. Sebagai petani, mereka mengolah kebun kelapa dan kopi. Setahun sekali mereka menanam padi. Hasil kebun dan sawah dimanfaatkan untuk hidup sehari-hari dan membiayai keperluan rumah tangga.
Aku melihat semangat hidup Emak dipicu oleh 2 hal tadi. Ia dilarang belajar, dan ia hidup miskin. Sepanjang hidupnya ia berjuang untuk 2 hal itu, membebaskan dirinya dan anak-anaknya dari kebodohan dan kemiskinan (Hal 24)
Yang mengagumkan dari sosok Emak adalah usahanya membebaskan anak-anaknya dari kebodohan dan kemiskinan. Selain membantu Ayah berkebun, Emak juga berdagang. Emak pun menjadi perias pengantin. Semua dimulai dari nol, dari hanya coba-coba hingga akhirnya mendapat untung. Emak juga manajer pendidikan yang ulung. Dia mengatur pendidikan setiap anaknya, hingga berhasil. Ketika anak-anaknya semakin banyak yang bersekolah di kota, Emak membangun rumah untuk mereka.
Emak adalah perintis mode, pembawa berbagai gaya busana kota ke kampong kami. (Hal. 143)
Bukan hanya anaknya, Emak juga "pahlawan" bagi kampong Teluk Nibung. Emak mendorong Ayah untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak di kampong. Emak menjual baju-baju dari kota supaya para wanita bisa berpakaian layak.
Selain kisah Emak, buku ini juga menceritakan perjalanan pendidikan Hasan. Saya kagum dengan sosok Hasan yang punya mimpi besar. Dia memilih ilmu Fisika, ilmu yang jarang dilirik oleh orang. Jalannya meraih pendidikan tinggi tidak mulus, ada banyak sandungan. Tapi keteguhan hatinya dan tekadnya mengantarnya menjadi seorang doktor.
Menyandingkan Emak dengan sosok Kartini bagaikan ironi. Emak bukan bangswan. Emak buta huruf. Emak tidak menulis surat untuk kawannya. Tapi Emak mengantar anak-anaknya menuju kesuksesan. Catatan hidup anaknya menjadi bukti nyata. Sosok Emak mewakili banyak sekali orangtua di Indonesia yang berjuang habis-habisan untuk pendidikan anak-anaknya. Tentu ada di antara kita yang punya "Emak-Emak" yang mungkin menempuh cara yang berbeda. Tanpa menafikan dan mengabaikan perjuangan Ibu Kartini, Emak adalah sosok Kartini yang sesungguhnya.
Makasi reviewnya mba saya jadi penasaran buat baca bukunya :)
ReplyDeleteTerima kasih atas reviewnya.
ReplyDelete