Judul : Miracle Journey
Penulis : Yudhi Herwibowo
Halaman : 184
Penerbit : Elex Media Komputerindo
Everything happen for a reason.
Kalimat di atas adalah salah satu prinsip hidup yang saya yakini. Semua terjadi atau tercipta karena ada alasan dan tujuannya. Bukan saja kebaikan yang terjadi dalam hidup, tapi juga kemalangan dan kesialan.
Ternyata Kitta Kafadaru, tokoh yang melakukan perjalanan penuh keajaiban, juga mendapatkan petuah yang sama. Kitta lahir dengan ketidaksempurnaan di tubuhnya. Ada punuk di punggungnya yang membuatnya tidak terliat tegak. Tetapi di balik ketidaksempurnaannya, Kitta memiliki kelebihan. Dia mampu menyembuhkan orang sakit dengan hanya menyentuh mereka.
Kitta lahir di sebuah desa kecil di Nusa Tenggara Timur, desa bernama Kofa. Desa itu dulunya hijau dengan empat mata air yang memberikan air sejuk sumber kehidupan desa itu. Tetapi sejak kepergian Kitta dari desa itu, tidak ada lagi kesuburan di sana. Tanah menjadi gersang, dan mata air tidak lagi memberikan kehidupan bagi masyarakatnya. Kepergian Kitta konon karena sebuah peristiwa yang memalukan.Cintanya ditolak oleh gadis yang telah disembuhkannya. Kitta tahu itu karena punuk di punggungnya. Sayangnya kemampuan Kitta untuk menyembuhkan penyakit tidak berlaku pada dirinya. Mungkin karena itu Kitta jadi malu dan meninggalkan desanya. Kitta tidak menyadari bahwa punuknya bukanlah penyakit.
Perjalanannya lurus ke arah barat membawanya berjumpa dengan beberapa orang. Ketika Kitta berjumpa dengan seorang Ame Tua, Kitta mengutarakan keinginannya untuk menjadi orang biasa saja. Ame Tua itu kemudian menceritakan tentang Matu Lesso, penabur pasir yang memanggil hujan. Matu Lesso juga seperti Kitta, ingin hidup biasa saja. Seperti halnya Matu Lesso, kepada Kitta dipesankan bahwa dia hanya akan menyembuhkan tiga kali saja selama perjalanannya. Setelah itu dia harus menjadi orang biasa.
Dalam perjalanannya Kitta menyembuhkan seorang lelaki dengan elang yang melayang di atas kepalanya, seorang perempuan yang bersenandung aneh di dalam hutan mati, dan seorang pemuda berkulit merah yang terlahir sebagai iblis. Setelah menyembuhkan, Kitta mendapat pelajaran berharga dari masing-masing orang tersebut. Dan ketika dia berjumpa dengan seorang bayi yang selamat dari air bah, Kitta menolak "memulihkan" bayi itu. Kitta ingin jadi orang biasa. Tapi apakah bisa hanya menjadi orang biasa saja?
... kadang seorang diciptakan untuk menjadi orang tidak biasa...
Seperti Kitta, dalam hidup kita seringkali menyembunyikan kekurangan dan kelebihan kita. Kita ingin jadi orang biasa seperti kebanyakan orang lainnya. Tapi apa standar biasa itu? Tidak ada. Tuhan memberikan talenta pada masing-masing ciptaannya. Talenta itu diberikan karena alasan tertentu. Kembali lagi everything happen for a reason. Hal yang tidak biasa itu ada karena punya tujuan. Bercermin dari perjalanan Kitta, saya menemukan bukan hanya bagaimana menerima hal yang tidak biasa dalam hidup kita. Tapi juga belajar tidak menghakimi orang lain dari penampilan luarnya.
Membaca kisah Kitta seperti berada dalam dunia fantasy tetapi nyata. Penggambaran lingkungan sekitar dengan budaya masyarakat Timur yang kental membuat saya menikmati buku ini seperti sedang melakukan perjalanan. Satu hal yang saya suka dari buku ini adalah nama-nama tokohnya yang unik, dan membuat kisah ini menjadi kisah yang tidak biasa.
Terlepas dari kisah yang menakjubkan, saya menemukan dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama, di hal 75. Ada kalimat, "Ini sebenarnya merupakan perjalanan tugas dari dosen kami yang tengah meneliti beberapa jenis tanaman unik, khususnya jamur, yang hanya ada di Aimere." Sekarang ini, jamur tidak lagi masuk dalam golongan tanaman (Plant), tapi masuk dalam golongan Fungi. Apalagi dikisahkan yang melakukan penelitian itu adalah dosen dan mahasiswa. Kekeliruan kecil seperti itu justru membuat pelaku kegiatan ilmiah menjadi tidak ilmiah.
Yang kedua, Dalam cerita Ana (dicetak miring) , dia menggunakan kata "beta" untuk menyebutkan dirinya. Bahkan ketika berbicara dengan Yohan, teman satu timnya. Tapi kemudian di halaman berikutnya (hal 86), Ana memakai kata "aku" untuk menyebut dirinya saat berbicara dengan Yohan, Deni, Oda dan Kitta. Saya rasa lebih baik kalau tetap pakai kata "beta", agar nuansa budayanya tetap terasa.
Yang kedua, Dalam cerita Ana (dicetak miring) , dia menggunakan kata "beta" untuk menyebutkan dirinya. Bahkan ketika berbicara dengan Yohan, teman satu timnya. Tapi kemudian di halaman berikutnya (hal 86), Ana memakai kata "aku" untuk menyebut dirinya saat berbicara dengan Yohan, Deni, Oda dan Kitta. Saya rasa lebih baik kalau tetap pakai kata "beta", agar nuansa budayanya tetap terasa.
tengkyu kritiknya ya mbak desty...
ReplyDeletebesok2 akan lebih teliti soal beta itu... :)