Penulis : Ruwi Meita
Halaman : 236
Penerbit : Rak Buku
Jeruk
Marsala adalah seorang penulis novel romantis yang cukup tenar. Tiga
dari enam novelnya telah diangkat ke layar lebar. Saat ini dia sedang
mempersiapkan novelnya yang ketujuh. Namun seorang penulis lain, bernama
Rinai, rupanya mencuri perhatian publik. Dua novel horor karya Rinai
laku di pasaran. Bahkan rumah produksi yang tadinya ingin membeli novel
Jeruk untuk dijadikan film, membatalkan rencana itu dan mengalihkannya
ke novel milik Rinai.
Sebenarnya
Jeruk tidak merasa kuatir dengan ketenaran Rinai. Karena Rinai adalah
nama alias Jeruk sendiri. Sudah lama Jeruk hendak menulis novel bertema
horor, sayangnya editornya tidak setuju. Akhirnya Jeruk menciptakan
Rinai sebagai penulis novel horor. Jeruk juga meminta kesediaan Darla,
sahabatnya untuk menhandle akun media sosial dan persuratan untuk Rinai.
Jeruk
tidak sembarangan memilih nama Rinai. Nama itu diperolehnya dari
liontin milik neneknya yang ditemukannya di dalam laci. Yang Jeruk tidak
sadari adalah ada dendam yang hidup di dalam liontin itu. Darah Jeruk
yang menetes di atas liontin itu saat berusaha membukanya melepaskan roh
Rinai yang sesungguhnya.
Sudah kubilang. Dendam tidak pernah padam bukan?
Nuansa
mistis dan horor dalam novel ini terasa sejak awal memegang bukunya,
dengan cover yang menampilkan gambar liontin dan warna hitam (plus saya
mendapatkan notebook dan pensil karakter yang lumayan spooky tapi keren
bersama buku ini... Thanks mbak Ruwi).Tetapi horor bukan satu-satunya
nuansa dalam buku ini, ada thriller-nya juga ketika Rinai memutuskan
untuk membalaskan dendam sesuai dengan apa yang ditulisnya di dalam
novel. Ketegangan semakin memuncak ketika sosok Eru muncul. Eru yang
misterius hadir dengan penjelasan yang membuat Jeruk mulai menyadari apa
yang dilakukannya.
Novel
ini mengangkat ide tentang penggunaan nama alias atau pseudonym oleh
seorang penulis novel untuk menulis dengan genre yang berbeda. Hal
semacam ini sudah sering dilakukan oleh beberapa penulis, terutama yang
sudah terkenal di satu genre tertentu. Tapi bagaimana jika pseudonym
atau nama alias itu benar-benar nyata dan mengambil alih kehidupan si
penulis? Di sinilah dipertaruhkan harga untuk sebuah nama.
Di
dalam novel ini disebutkan bahwa novel romance memang selalu punya
peluang lebih besar untuk diterbitkan, tetapi novel horor/thriller punya
pasarnya sendiri. Hanya saja saya merasa ketika membandingkan ketenaran
antara Jeruk yang sudah menulis novel romance sampai 6 buku dengan
Rinai yang baru menulis 2 novel horor agak sedikit berlebihan. Di dunia
nyata, ada banyak penulis novel yang sudah menerbitkan banyak karya,
tapi sangat jarang yang merasa insecure dengan kehadiran penulis
lainnya, apalagi dari dua genre yang berbeda.
Namun
novel ini menghibur dengan caranya sendiri. Saya menyukai penggunaan
unsur anagram di dalam novel ini. Begitu pula dengan alur ceritanya yang
rapi dan membangun ketegangan sejak awal kisah membuat saya tidak bisa
melepaskan buku ini sampai selesai. Background lokasi di Jogja juga
membuat saya lebih mudah menyerap kisahnya Tapi kalau boleh, saya ingin
porsi Eru lebih banyak lagi. Saya penasaran dengan kisah Jeruk dan Eru
selanjutnya.
Well...buat kamu yang ingin mencicipi misteri bernuansa horor karya anak bangsa, saya merekomendasikan novel Alias ini.
Be First to Post Comment !
Post a Comment