Judul Buku : Megamendung Kembar
Penulis : Retni S.B.
Halaman : 360
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Awie bekerja sebagai art director di sebuah perusahaan periklanan. Beban kerja berlebihan dan suasana kerja yang tidak lagi nyaman membuatnya mengambil keputusan untuk cuti selama seminggu. Dia pun pulang ke Cirebon, tempat Embahnya tinggal. Lagipula sudah lama dia tidak mengunjungi neneknya itu.
Embah tinggal di sebuah desa bernama Kalitengah. Desa ini merupakan salah satu dari sekian desa sentra produksi batik Cirebonan. Embah sendiri punya usaha batik rumahan. Dahulu ada sepuuh orang yang bekerja di rumah Embah, menghasilkan batik tulis dengan kualitas yang bagus. Sayangnya usaha batik tulis ini tergusur oleh serbuan batik printing dan cetak. Di samping itu, tidak ada anak-anak Embah yang menjadi pembatik seperti Embah. Embah sendiri punya banyak koleksi batik tulis yang umurnya sudah puluhan tahun bahkan ada yang hampir seabad. Salah satunya adalah batik merah dengan corak Megamendung gradasi biru. Uniknya batik milik Embah ini memiliki sembilan gradasi warna dari biru ke putih, berbeda dengan corak Megamendung pada umumnya yang hanya memiliki tujuh gradasi . Batik milik Embah memiliki aura magis yang membuat Awie terpaku saat melihatnya. Anehnya, Embah seperti tidak mau membahas tentang batik yang istimewa itu. Raut mukanya langsung berubah menjadi masam.
Suatu kali Awie berjalan-jalan mengunjungi beberapa showroom batik di desa tetangga. Dia menemukan batik Megamendung yang sangat mirip dengan kepunyaan Embah, sama-sama punya sembilan gradasi warna. Bedanya, batik yang satu ini dipajang layaknya barang antik. Menurut pemilik showroom, batik itu sangat istimewa dan tidak dijual. Ada rasa penasaran yang menggugah batin Awie ketika melihat batik itu.
Megamendung Kembar merupakan novel yang mengisahkan budaya batik tulis Cirebonan. Pembaca akan dibawa menelusuri sejarah produksi batik tulis di Cirebon. Di dalam novel ini ada tiga bagian kisah. Bagian pertama bercerita tentang kepulangan Awie ke Kalitengah, bagian kedua tentang kisah Sinur si pembatik, dan bagian ketiga tentang cinta beda nasib milik Awie dan Sinur. Kalau bisa memilih, saya paling suka bagian kedua.
Novel ini menyajikan sesuatu yang spesial. Membaca novel ini, saya menjadi tahu tentang filosofi batik Megamendung yang unik itu. Bukan hanya itu, saya pun belajar tentang proses pembuatan batik tulis yang jauh dari kata sederhana. Ada proses ngerengreng (menorehkan malam dari canting di atas kain), ngiseni (memberi isian motif pada pola yang besar), ngeblok (menutup bagian-bagian tertentu denga malam agar warnanya tidak tertutup oleh warna lain di atasnya), dan masih banyak rangakaian proses pembuatan batik lainnya. Saya juga belajar, bahwa membuat batik itu tidak sekadar menorehkan malam dengan cara menggoreskan canting, tetapi ada dialog jiwa antara pembatik dan semua peralatan yang digunakan. Saya belajar bahwa terkadang air mata bisa menetes ketika jiwa sudah menyatu dengan goresan malam, seperti yang dialami oleh Sinur.
Unsur romansa (dan sedikit nuansa misteri) di novel ini semakin membuatnya lengkap. Kisah cinta Sinur yang penuh dengan pergulatan batin membuat saya menitikkan air mata saat kisah itu mencapai akhirnya. Dialog-dialog para tokoh yang kental dengan dialek khas Cirebonan, membuat novel ini unik dengan caranya sendiri, khususnya pada bagian kedua. Hal yang menarik adalah ketika saya membandingkan kisah cinta Awie dan Sinur. Kedua wanita ini bisa dibilang tidak punya pengalaman dalam urusan cinta. Keduanya juga dihadapkan pada pilihan dua pria yang berbeda garis hidup. Sinur bisa saja pasrah pada nasib yang membuatnya tidak bisa memilih sesuai isi hatinya karena kondisi sosial masyarakat pada jaman itu. Tetapi Awie yang hidup di era modern membuatnya bisa dengan bebas memilih lelaki yang akan mendampingi hidupnya. Meski pada akhirnya pilihan Awie ternyata tidak sama seperti yang saya inginkan.
Saya merekomendasikan novel ini untuk kamu penikmat romansa dan pencinta batik Indonesia. Ada cinta, pengharapan, keluarga, dan sejarah yang tidak boleh dilupakan berpadu unik dalam novel ini.
Saya tinggal di Cirebon. Tapi saya tidak dekat dengan sejarah batik megamendung itu. Malu sih, dan saya benar-benar penasaran dengan proses membatik.
ReplyDeletewah ini motif batik yang paling populer mbaa. Motif mega mendung yang bentuknya seperti awan :)
ReplyDelete