~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#526 Mata di Tanah Melus


Judul Buku : Mata di Tanah Melus
Penulis : Okky Madasari
Halaman : 196
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Matara sangat menyukai kisah yang sering diceritakan oleh neneknya. Kisah itu adalah pengalaman pribadi sang nenek, ketika gerhana matahari datang dan dia berada di tengah-tengah para raksasa pemakan matahari hanya karena penasaran ingin melihat matahari yang dimakan oleh raksasa. Entah benar atau tidak, Matara merasa cerita penuh petualangan itu mengesankan. Dia ingin memiliki kisah sendiri yang mirip dengan itu.

Mama dan Papa Mata berprofesi sebagai penulis. Mamanya penulis buku cerita orang dewasa, sementara Papanya adalah jurnalis di sebuah media massa. Mamanya selalu hidup dalam dunianya sendiri, sibuk dengan kisah-kisah yang akan ditulisnya. Mata tumbuh dengan cerita anak-anak yang dijejalkan padanya. Suatu hari suasana di rumah lebih sering dipenuhi pertengkaran antara Mama dan Papa. Hingga akhirnya Mama mengajak Mata pergi ke suatu tempat yang sangat jauh.

Tempat itu bernama Belu, sebuah kabupaten di NTT dengan ibu kota bernama Atambua. Mereka dijemput di bandara oleh seorang penduduk lokal. Sayangnya, di tengah perjalanan mobil mereka menabrak seekor sapi sampai mati. Mama harus mengganti kerugian sebesar dua puluh juta pada pemilik sapi. Setiap Mata tertidur dia selalu bermimpi didatangi sapi-sapi yang mengejar-ngejarnya. Menurut penduduk di situ, itu karena Mama dan Mata belum minta izin untuk masuk ke Belu. Mereka harus melakukan upacara supaya terhindar dari bahaya.

Pertama kali mendengar bahwa Okky akan menulis cerita anak, saya sudah excited. Okky yang terkenal dengan novel-novel bernafaskan kondisi sosial kali ini menulis sebuah cerita yang bisa dibaca oleh anak-anak. Dengan Mata, seorang anak kecil yang baru tamat SD, Okky menyajikan petualangan di sebuah tempat di ujung timur Indonesia. Dan ciri khas Okky dengan kritik sosialnya masih tetap ada. Novel ini mengajarkan tentang kearifan lokal masyarakat Belu. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah meskipun Mata dan Mama-nya tidak percaya dengan segala mitos dan adat istiadat itu, mereka tidak bisa berkutik menghadapinya. Berkali-kali alam berbicara mengingatkan mereka, lewat hujan deras, angin kencang, bahkan perjalanan yang tiada habisnya.

Dalam novel ini, Mata membaca berkali-kali menamatkan buku Alice in Wonderland, dan bermimpi ingin berpetualang seperti Alice. Tidak disangka Mata mengalami sendiri menjadi seorang "Alice" dengan cita rasa lokal. Bertemu suku Melus, kerajaan kupu-kupu, dan raja buaya membuat pembaca ikut merasakan petualangan Mata. Saya lantas memasukkan novel ini dalam rak buku fantasy. Dunia anak-anak memang dunia fantasy, bukan?

Konon suku Melus adalah penduduk asli Belu. Keberadaan mereka terdesak oleh pendatang-pendatang. Dalam buku ini suku Melus tinggal di tempat rahasia. Barang siapa yang satang ke tempat itu tidak akan bisa keluar lagi. Bayangkanlah perasaaan Mata yang berpisah dari ibunya dan tersesat di tempat antah berantah yang tidak memperbolehkannya bertemu lagi dengan ibunya. Untungnya ada Atok, anak laki-laki suku Melus yang mau menolongnya, meski akan mendapat murka para leluhurnya.

Saya merasa cerita ini belum selesai. Akan ada petualangan Mata berikutnya. Entah itu masih di tempat yang sama, atau dia hanya mengikuti Mamanya yang haus akan topik baru untuk ditulisnya. Tidak sabar untuk mengikuti petualangan Mata berikutnya. Semoga tidak perlu menanti dalam hitungan tahun. 



Be First to Post Comment !
Post a Comment