Judul Buku : Metropolis
Penulis : Windry Ramadhina
Halaman : 331
Penerbit : Grasindo
Cerita dalam buku ini diawali dengan suasana pemakaman Leo Saada, salah satu mafia penting di Jakarta. Kematiannya yang tidak wajar, yaitu terbakar di dalam mobilnya sendiri, meninggalkan tanda Tanya bagi banyak orang, terutama puteranya Ferry Saada. Kematian Leo menyusul kematian beberapa gembong mafia yang tergabung di dalam Sindikat 12. Sindikat 12 sendiri adalah lelompok mafia pemasok narkoba yang menjadi momok bagi polisi karena selalu bisa lolos dan tidak tersentuh hukum.
Agusta Bram, adalah anggota polisi Sat Reserse Narkotika yang mengusut kasus Sindikat 12. Kasus ini semakin membesar ketika satu persatu pemimpin Sindikat 12 tewas terbunuh. Dibantu Erik, polwan asistennya, mereka mencoba membongkar misteri pembunuhan tersebut, walaupun sebenarnya kasus ini bukan lagi di bawah wewenang mereka.
Kematian para pemimpin Sindikat 12 ini ternyata ada hubungannya dengan kejadian masa lampau, dimana sebelum Sindikat 12 ada, perdagangan narkoba di Jakarta dikuasai oleh satu orang, Frans Al. Kali ini putranya, Johan Al, yang dikira telah mati terbunuh bersama orangtuanya menuntut balas demi kematian ayahnya. Tapi tentu saja kasus ini bukan hal yang mudah, karena melibatkan oknum mantan polisi wanita yang belakangan ketahuan bahwa dia adalah putri dari Leo Saada.
Demi ayahku yang sudah mati….
Tagline dari judul novel yang terpampang di sampul buku ini, memang menjadi benang merah dari kisah dalam novel ini. Masing-masing tokoh membawa dendam masa lalu, membalaskan kematian ayah mereka. Mengenai judulnya “Metropolis”, cukup mewakili tentang Jakarta yang metropolitan dengan segala persoalan di dalamnya. Walaupun di dalam buku ada juga pub yang bernama sama yang menjadi salah satu tempat penting dalam cerita ini.
Tema kriminal dan misteri yang tidak biasa diangkat oleh penulis fiksi di Indonesia tersaji cukup baik dalam novel ini. Riset mendalam tentang mafia narkoba di Jakarta yang dilakukan oleh Windry menambah bumbu dalam cerita ini. Apalagi didalamnya disertakan beberapa gambar denah TKP yang membuat pembaca ikut memahami setiap kasus yang dihadapi oleh tokoh. Walaupun di pertengahan buku sudah ketahuan siapa pembunuh sebenarnya, tetapi kejutan masih tersaji hingga halaman terakhir. Alur ceritanya memang lambat, sehingga pembaca yang bukan penikmat misteri pasti akan berhenti membacanya di tengah-tengah buku.
Saya sendiri pertama kali tertarik oleh covernya yang seperti surat kabar dengan bercak darah. Tadinya saya mengira ini adalah novel terjemahan sampai saya melihat nama penulisnya yang juga penulis novel Orange. Berbeda dengan kisaha Orange yang bittersweet, dalam buku ini kisah roman tidak banyak. Hanya sedikit saja, itupun semua menjadi kasih tak sampai :). Ohya novel ini ada situsnya juga... lumayan buat ngintip gambaran karakter tokohnya.
Oh ini pengarang yg sama dg novel Orange?
ReplyDeleteHebat, bisa banting setir nulis genre yg berbeda 180 derajat, salut bgt!
Wow for the cover. Wow lagi untuk penulis yang ternyata bisa nulis dua buku berlain Genre. Aku masih ingat buku Orange dan tidak begitu terkesan.
ReplyDeleteiya... saya salut juga soal genre yang berlainan itu :)
ReplyDeleteWow, reviewnya mengingatkan pada cerita ala the godfather. Boleh juga diintip kalau nanti ke toko buku :)
ReplyDelete