Judul Buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Halaman : 256
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Saya sengaja menyimpan buku ini untuk dibaca pada Baca Bareng BBI dengan tema buku dengan judul yang memiliki unsur angka. Tidak banyak novel yang memilih "hanya" angka sebagai judulnya, apalagi yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia. Sejak awal novel ini sudah membuat saya penasaran hanya dengan melihat judulnya.
Arimbi adalah seorang pegawai negeri kelas bawah yang bertugas sebagai juru ketik di salah satu pengadilan di Jakarta. Tugas utamanya tentu saja mengetik hasil persidangan. Meski hanya pegawai rendahan, tapi titel PNS sudah membuat kedua orangtuanya bangga. Padahal mereka tidak tahu susahnya hidup Arimbi di Jakarta. Dengan gaji pas-pasan dia harus menghidupi dirinya sendiri juga mengirimkan sebagian kepada orang tuanya.
Namun, hidup Arimbi dengan gaji pas-pasan hanya berlangsung selama 4 tahun pertama. Berawal dari ucapan terima kasih berupa alat pendingin ruangan, Arimbi mulai mengenal cara pintas mendapatkan uang. Arimbi mulai mendapatkan jatah uang pelicin, sogokan atau apapun namanya. Awalnya dia merasa takut, tapi melihat orang lain santai saja menerima hal yang sama, Arimbi mulai tenang. Apalagi atasannya Bu Danti malah menyuruhnya menikmati rejeki yang dia terima. Semuanya bisa diatur. Delapan enam sajalah!
Arimbi pun mulai berkenalan dengan seorang Ananta, teman kostnya. Rasa cinta mulai muncul diantara mereka. Sejak pacaran, Ananta sudah mulai mendorong Arimbi untuk menabung uang sampingan yang diperolehnya. Arimbi sadar, pekerjaan Ananta yang hanya karyawan perusahaan kredit motor tentu penghasilannya tidak seberapa. Itupun dia mesti mengirimkan uang juga pada orang tua di kampung. Cinta Ananta cukup buat Arimbi, masalah uang biar dia yang memikirkan. Delapan enam sajalah!
Yang namanya roda kehidupan berputar, pastilah ada saat dimana Arimbi berada di posisi terendah. Saat itu Arimbi disuruh oleh Bu Danti untuk mengurus transaksi di sebuah rumah makan. Koper berisi uang dua milliar berpindah ke tangan Arimbi yang dengan segera diantarkan ke Bu Danti. Sayangnya, KPK sudah menguntit dirinya. Di rumah Bu Danti, Arimbi dan atasannya itu tertangkap basah beserta barang buktinya. Masih bisakah Arimbi ber-delapan enam?
Ungkapan 86 awalnya digunakan di kepolisian, yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang.
Novel ini tidak hanya bercerita soal korupsi semata. Hal yang paling terasa di dalam novel ini sejak awal hingga akhirnya adalah ironi. Ironi ketika di pengadilan, tempat keadilan ditegakkan, justru menjadi lahan basah sogokan menggunakan uang. Ironi ketika Arimbi mengira cinta Ananta saja sudah cukup untuk dirinya. Ironi ketika Arimbi di dalam tahanan justru menemukan lebih banyak kejahatan terselubung (tapi tetap saja Arimbi melakukannya).
Jika melihat karakter tokohnya, saya sendiri tidak merasakan empati pada kemalangan Arimbi. Meski dia adalah seorang yang sangat menyayangi keluarganya, dan juga punya harapan yang besar hingga mau melakukan apapun untuk itu. Yang menarik bagi saya justru tokoh Ananta. Awalnya saya mengira dia hanya memanfaatkan Arimbi semata-mata demi uang, tapi ternyata kesetiaan Ananta justru patut diacungi jempol.
Kritik sosial dari buku ini sangat jelas. Selain berbicara tentang keadilan, pemberantasan korupsi, novel ini juga mengungkit bahwa kemerdekaan itu ada harganya. Ada yang memilih untuk membayarnya dengan mengeluarkan uang yang sangat banyak. Tentu saja ada pilihan lain. Tetapi yang terjadi di masyarakat, semuanya kalau bisa instan saja. Okky Madasari sekali lagi menelanjangi kondisi bangsa ini di dalam novelnya. Ketika saya menutup buku ini di akhir cerita, ada rasa gelisah yang tertinggal di sana,
boleh pinjem gak?? :0
ReplyDeleteAku baru tahu arti 86. Selama ini aku pikir semacam 45, disuruh semangat ajah lah.. wkwk.
ReplyDeleteAnyway, buku2nya Okky Madasari model begini semua ya mba?
Hm, lain kali nyicip ah.. kalo timbunan sendiri udah habis sih #itukapanky?
Iya...bukunya okky itu selalu ngangkat konflik sosial
ReplyDeleteHihi.. Pas aku beli buku ini di sale Gramedia, langsung diputer di kantor buat gantian baca. Namanya juga anak hukum yaak.. Pas baca ini sih bawaannya ketawa-ketawa aja sambil ngomong "wah beneran nih!!" Mana pengadilan kantornya Arimbi tuh tempat nongkrongku jaman kuliah :)
ReplyDeleteTapi yang paling menohok tuh buatku orang tuanya Arimbi mbak, mentang2 anaknya kerja di kota besar, harapan mereka langsung setinggi langit. Emang gitu sih ya pandangan orang desa soal kerabatnya yang tinggal di kota besar, apalagi Jakarta. Dipikirnya sukses, kaya... padahal siih... akhirnya yang di kota jadi terbeban.