Judul Buku : Bandar : Keluarga, Dosa dan Darah yang Diwariskan
Penulis : Zaky Yamani
Halaman : 304
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Parlan sedang galau. Bapaknya, Gopar, memintanya untuk meneruskan usaha keluarganya. Usaha ini tidak main-main, sudah dirintis dengan darah dan perjuangan keras oleh neneknya, Dewi. Tapi hati nurani Parlan menentang. Bagaimana mungkin dirinya yang bercita-cita menjadi pengacara akan meneruskan usaha menjadi bandar ganja?
"Kenapa aku harus meneruskannya?"
Pertanyaan yang dilontarkan Parlan kepada Bapaknya membuat Gopar menceritakan kisah tentang seorang perempuan bernama Dewi. Dewi adalah anak dari Abdul Halim, seorang pengusaha di kampung Wanaraja di tanah Sunda. Kala itu masih terjadi pemberontakan Darul Islam melawan tentara Indonesia. Sebagai orang kaya, Abdul Halim harus menyetor bagian tertentu kepada pasukan DI, semata-mata untuk keamanan. Tapi tentu saja tanpa sepengetahuan TNI. Selain dirinya, ada Kyai Bustaman yang juga adalah orang terpandang di sana. Abdul Halim mempunyai keinginan menikahi anak dari Kyai Bustaman, Aminah. Tujuannya tidak lain untuk menambah pundi-pundi harta. Sementara Kyai Bustaman yang juga berpikiran sama, akan menikahkan kemenakannya Hidayat dengan anak Abdul Halim, Dewi.
Baik Dewi maupun Aminah menolak perjodohan ini. Aminah memilih lari dari rumah bersama kekasihnya, namun tewas pada saat antek-antek ayahnya berusaha menghalangi kepergiannya. Gagal menikah dengan Aminah, Abdul Halim tetap melaksanakan rencana pernikahan Dewi. Sayangnya, Dewi juga kabur dari rumah di hari pernikahannya. Perjuangan Dewi untuk mempertahankan harga dirinya membawanya ke Tasikmalaya. Namun, demi bertahan hidup Dewi justru jatuh dalam bisnis pelacuran. Dewi menjajakan tubuhnya untuk bertahan hidup.
Tanpa disangka, Dewi bertemu kembali dengan Ahmad, mantan kekasih Aminah yang ternyata masih hidup. Dewi menikah dengan Ahmad, dan memiliki seorang anak bernama Gaffar. Masa itu di tahun 1966, kehidupan sangat sulit. Ahmad terpaksa menjadi perampok, sementara Dewi kembali melacurkan dirinya. Ketika Ahmad akhirnya tewas dipenjara, Dewi berusaha mati-matian mempertahankan hidupnya dan anaknya. Dalam rentang waktu yang tidak singkat, Dewi menikah dengan Wasid, sahabat Ahmad, untuk kemudia ditinggal mati lagi oleh suaminya. Hingga akhirnya Dewi berkenalan dengan seorang bandar ganja dan memulai usahanya sebagai calo dan tinggal di Gang Somad, Bandung.
Bisnis Dewi berjalan lancar. Dewi pun menurunkan usaha ini kepada ketiga anaknya: Gaffar, Wawan dan Farid. Ketiga anaknya ini adalah preman Gang Somad yang paling ditakuti. Gaffar yang berganti nama menjadi Gopar akhirnya memutuskan untuk memperluas usahanya dengan mencari sendiri ganja dari Aceh. Gopar juga tidak segan bekerja sama dengan kepolisian supaya usahanya berjalan lancar. Tentu saja ada yang dipertaruhkan untuk semua ini.
Saya menemukan novel ini di aplikasi IJak, dan ketika mengecek di Goodread, ternyata novel ini masuk dalam longlist nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2014. Sampulnya memang tidak begitu eyecacthing (hanya gambar tanaman ganja dan seorang perempuan yang mengenakan topeng kelinci?). Tapi isinya ternyata bagus. Sesuai judulnya, novel ini memang secara garis besar mengisahkan tentang bisnis keluarga yang mengandung darah dan dosa. Sejak awal saja, novel ini dibuka dengan kisah Gang Somad, sebuah gang di Bandung yang digambarkan oleh penulis sebagai tempat dimana "setan gemar membuat lingkaran di sini". Saking parahnya tempat itu, tidak ada lagi rasa hormat dan santun di dalam keluarga, bahkan kata "anjing" sudah menjadi sapaan sehari-hari.
Saya tertarik dengan kisah hidup Dewi. Dia seorang perempuan dengan pikiran menarik. Di usianya yang 15 tahun saja dia sudah berani menolak perjodohan oleh orang tuanya. Dia berani melawan ayahnya yang memberikan contoh buruk bagi anak-anaknya. Ketika dia melacurkan diri, dia memikirkan betapa pelacur itu layak dihargai seperti seorang pegawai negeri, karena sudah membantu banyak pria untuk membuang maninya. Saat usahanya yang dirintis dikacaukan oleh anak-anaknya, Dewi sendiri ikut turun tangan mengatasinya meski usianya tidak lagi muda.
Satu-satunya kejanggalan yang saya jumpai adalah sikap Gopar di akhir cerita yang membuat karakter yang dibangunnya sejauh ini menjadi rancu. Saya tidak akan membeberkan di sini sikap seperti apa yang diperbuat oleh Gopar. Meski demikian, novel ini sendiri sebenarnya adalah page turner. Pembaca akan dibuat penasaran sampai menutup halaman terakhir.
Tiga bintang untuk sang Dewi.
Aku malah suka gambarnya, Mbaak.
ReplyDeleteBtw soal Ijak, sebenarnya pengen deh. Tapi aku punya kemalasan besar untuk membaca cepat, jadi piye ya :(