Judul Buku : The Mocha Eyes
Penulis : Aida M.A
Halaman : 245
Penerbit : Bentang Pustaka
Jika diibaratkan rasa minuman, maka Muara adalah kopi. Hidupnya hitam pekat dan pahit. Sejak kejadian pemerkosaan yang dialaminya di kampus dulu yang berujung dengan kematian ayahnya, Muara menjadi gadis antisosial. Dia menutup diri terhadap apapun dan siapapun. Namun satu kali dia memberikan cintanya pada seorang pria bernama Damar. Hanya saja Muara tetap sepekat kopi dan membuat hubungan mereka menjadi hambar. Damar memilih meninggalkannya untuk bersama gadis lain. Tiga peristiwa itu membuat Muara semakin menarik diri.
Fariz adalah seperti segelas cokelat yang selalu menarik perhatian banyak wanita. Selain secara fisik Fariz memang menawan, kemampuannya bertutur kata dan menjadi pendengar yang baik memuat banyak wanita tergila-gila padanya. Pekerjaannya sebagai seorang konsultan pengembangan diri membuat Fariz tetap harus berhadapan dengan banyak orang. Meski jauh di dalam alam bawah sadarnya, dia menyimpan kepahitan setelah ditinggal menikah dua kali oleh kekasihnya. Alam bawah sadar Fariz sendiri kemudian membentuk siluet wanita idamannya yang selalu hadir dalam mimpinya atau pada segumpal awan di langit.
Aku laksana kopi dan kau cokelat,lalu kita menyatu menjadi moka.
Pertemuan keduanya dalam suatu training di puncak mengawali perubahan yang terjadi pada diri masing-masing. Muara sebagai peserta yang selalu kabur dari setiap sesi pelatihan, sementara Fariz adalah trainer yang penasaran dengan mata cokelat milik Muara. Fariz kemudian mencoba membuka percakapan dengan Muara, menawarinya segelas moka sebagai pengganti kopi pahit. Karena kehidupan punya rasa manis seperti cokelat dan pahit seperti kopi, kata Fariz. Manusia tidak bisa menghindari dua rasa itu dalam kehidupannya.
Saya suka dengan metafora moka itu. Tidak serta merta kepahitan yang dialami oleh Maura harus hilang, tetapi diimbangi dengan hal yang manis dalam hidupnya. Pemilihan latar belakang pekerjaan yang harus dijalani oleh Maura juga terasa tepat. Maura digambarkan sebagai salah satu crew di ruman makan cepat saji ayam goreng. Gambaran bagaimana dia harus bekerja dengan rutinitas yang ketat, berhadapan dengan banyak orang sementara di dalam dirinya sendiri ada begitu banyak masalah terlihat kontras namun dikisahkan dengan apik.
Satu hal yang mengganjal bagi saya adalah penggunaan dua POV dalam alur cerita novel ini. Porsi Maura menggunakan POV 1 sementara porsi yang lain (termasuk Fariz) menggunakan POV 3. Kenapa gak semuanya pake POV 3 saja? Atau dibuat POV 1 dari sudut pandang Maura dan Fariz sebagai tokoh utama. Mungkin memang penulis lebih menekankan pada persoalan yang dirasakan Maura sehingga lebih bebas mengeksplorasinya dengan menggunakan tokoh 'aku'. Tetapi jadi tidak berasa adil ketika tiba pada tokoh yang lain.
Novel ini adalah salah satu dari seri novel romantis What's Your Love Flavour? dari Bentang Pustaka. Alih-alih sebagai novel romance saya menganggap novel ini lebih cocok disebut sebagai novel motivasi. Ada banyak sekali kalimat-kalimat motivasi yang terdapat di dalam novel ini, khususnya mengenai penerimaan diri atas trauma di masa lalu. Meski demikian tidak ada kesan menggurui ketika membaca novel ini. Saya jadi ingin mencoba cerita yang lain dalam serial rasa cinta dari Bentang Pustaka.
Terimakasih banyak untuk resensinya. Salam kenal :)
ReplyDeleteSama-sama mbak :)
ReplyDeleteada satu nih seri What’s Your Love Flavour? di timbunan, yang tentang kopi, hasil pinjem kopdar di rumah mb vina kemaren :))
ReplyDeletePunya siapa, Lis?
ReplyDelete