~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#276 What Would Emma Do?


Judul Buku : What Would Emma Do?
Penulis : Eileen Cook
Halaman : 320 (ebook)
Penerbit : Simon Pulse

Pernah dengar atau baca "What Would Jesus Do?" Jargon ini sempat populer beberapa tahun lalu di kalangan umat Kristiani. Pertanyaan yang mengingatkan kepada kita untuk selalu meneladani apa yang dilakukan oleh Yesus dalam setiap keadaan. Apa hubungannya dengan novel ini?




Emma Proctor adalah seorang remaja yang bersekolah di Trinity Evangelical Secondary, sekolah swasta Kristen yang cukup ketat dalam pendidikan agamanya. Setiap siswa di sekolah ini diminta untuk berlaku sesuai dengan ajaran Alkitab. Bukan hanya itu, seluruh penduduk kota Wheaton juga menganut paham yang sama. Masalahnya meski di bibir mereka memuja kebesaran Yesus, tapi di belakang beberapa masih berlaku sebaliknya. Salah satunya adalah Darci Evers. Gadis populer di sekolah itu memang dikenal sebagai gadis yang alim. Tapi Emma tahu siapa Darci. Emma merasa muak dengan semua ajaran-ajaran itu. Satu tujuannya adalah ingin segera keluar dari kota Wheaton.

Ada satu kejadian pada masa Natal, dimana Emma secara tidak sengaja berciuman dengan Collin, pacar dari Joann sahabatnya. Kejadian itu dilihat langsung oleh ibunya Joann, yang kemudian menceritakan pada Joann, dan menyebabkan hubungan Emma dan Joann jadi renggang. Bagi Emma itu adalah kecelakaan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Lagipula Collin memang sudah akrab dengannya sejak kecil. Mereka tumbuh besar bersama dan sudah seperti saudara. Emma yang tinggal bersama ibunya, sudah bertetangga dengan keluarga Collin sejak lama.

Suatu hari, Emma bertengkar dengan ibunya. Ibunya tidak setuju jika Emma memilih universitas di luar kota. Malam itu, Emma meminta Collin datang ke rumahnya. Alih-alih, Collin malah mengajaknya ke sebuah tempat bernama Barn, semacam diskotik-lah. Di sana Emma dan Collin melihat Darci dan Kimberly (sahabatnya Darci)sedang mengkonsumsi obat dan minuman keras. Kimberly sempat muntah-muntah dan merasa tidak enak badan, tapi Darci membujuknya untuk tetap tinggal. Tidak mau terlihat oleh Darci, Emma dan Collin memilih untuk pulang.

Keesokan harinya, ada kabar bahwa Kimberly jatuh sakit dan tidak sadarkan diri. Dan kejadian itu seperti menular ke beberapa gadis populer lainnya termasuk Darci. Penduduk kota sependapat bahwa kejadian ini adalah hasil perbuatan iblis yang mencoba mengalihkan para remaja dari Tuhan. Beberapa siswa yang tidak populer dan penyendiri di sekolah menjadi tersangka. Emma yang mau mengungkapkan kejadian yang dilihatnya di Barn kembali berpikir. Jika Joann sampai tahu dirinya bersama dengan Collin malam itu, maka persahabatan mereka akan renggang lagi. Dan masih banyak kontra lainnya yang membuat Emma bungkam.

Membaca novel ini bagi saya seperti menonton film-film remaja ala Hollywood. Gadis populer versus gadis tidak populer. Darci sebagai tokoh antagonis menggunakan berbagai cara untuk membuat dirinya tetap bersinar, meski itu memanfaatkan temannya. Di sisi lain, Emma berusaha cuek dan memikirkan dirinya sendiri, tapi gelisah melihat keadaan yang menyudutkan dirinya.

Novel ini lucu, terlepas dari narasinya yang seperti mempertanyakan keberadaan Tuhan. Tapi saya mencoba berpikir secara terbuka, bahwa hal itu wajar terjadi masa-masa remaja dimana seorang remaja selalu mempertanyakan segala hal dalam kehidupannya. Sebenarnya Emma bukan tidak percaya sama Tuhan. Dia selalu berdoa pada Tuhan (ditunjukkan dengan doa-doanya di setiap awal bab). Dalam logika remajanya, dia ingin mendapatkan interaksi dua arah. Dia percaya bahwa hidup bukan hanya sekedar beriman saja, tetapi juga dengan perbuatan. Hanya saja itu tidak dilihatnya di lingkungan sekitarnya. Di satu titik dia pun berpikir untuk tidak lagi berusaha menyenangkan banyak orang, dan mulai bertanya, "What Would Emma Do?".

Sebenarnya dalam kehidupan kita masa ini, ada banyak kejadian di sekitar kita dimana orang mengaku beriman dan percaya pada Tuhan, dan menggunakan berbagai cara untuk memperlihatkan keimanannya itu. Bahkan terkadang menggunakan kekerasan dan mencelakakan orang lain atas nama imannya. Saya tidak mau menghakimi mereka, meski kadang seperti Emma, ada rasa gelisah yang muncul dalam hati kenapa Tuhan membiarkan itu terjadi.

Well, ini bukan novel romance, meski covernya seperti menyiratkan itu. Novel ini lebih kepada pengembangan karakter remaja, meski ending-nya kurang memuaskan bagi saya. Bagi yang mau membacanya, bacalah dengan pikiran terbuka ya...

3 stars
Be First to Post Comment !
Post a Comment