~ karena membaca adalah candu dan menuliskannya kembali adalah terapi ~

#2 Landorundun


Judul Buku : Landorundun
Penulis : Rampa’ Maega
Halaman : 248
Penerbit : Sendika


Cerita Landorundun pertama kali saya dengar dari mulut Ne’ Papa’ (kakek saya). Itupun waktu saya masih kecil. Saat ini kisah itu tinggal samar-samar di ingatan saya. Begitu mengetahui ada Novel Landorundun yang dipromosikan lewat facebook saya langsung memesannya. Tidak banyak novel yang mengangkat budaya Toraja, apalagi cerita rakyatnya. Bahkan bisa dikatakan inilah novel pertama yang saya baca dengan latar belakang budaya Toraja. Apalagi, saya yang mengaku suku Toraja, tidak banyak tahu tentang cerita rakyat Toraja.

Novel ini datang 2 minggu setelah pemesanan, lengkap dengan Kaos Landorundun berwarna hitam, dan tanda tangan Rampa’ Maega, pengarangnya. (Thanks a lot, RaMa..)

Ada dua “cerita” dalam novel ini yang dikisahkan bergantian dari satu bab ke bab lain. Yang pertama adalah cerita tentang Landorundun yang asli (cerita rakyat), dan yang kedua adalah cerita tentang Kinaa Landorundun. Kedua cerita ini saling mendukung, sehingga tidaklah membingungkan pada saat membacanya.

Landorundun sendiri berasal dari dua kata Lando yang artinya panjang, dan Rundun yang artinya rambut. Cerita rakyat Landorundun sendiri memang mengisahkan tentang seorang perempuan cantik berambut sangat panjang (17 depa 300 jengkal panjangnya).  Rambut panjang milik Landorundun ini akhirnya membawa dia ke pertemuan dengan seorang bangsawan kaya dari Bugis bernama Bendurana. Kisah cinta mereka juga unik, karena melibatkan perjuangan yang berat yang harus dilakukan oleh Bendurana.

Hal yang menarik di dalam novel ini adalah penjelasan mengenai beberapa budaya Toraja, misalnya acara adat Rambu Solo’ (upacara kematian), Rambu Tuka’ (upacara kelahiran, pesta sukacita) , Mangrara Banua (masuk rumah baru), dan sebagainya. Beberapa bahasa Toraja dan dialek (logat) Toraja juga dituliskan di sana. Belum lagi pantun-pantun yang bergaya Toraja.  Beberapa lokasi di Toraja juga diangkat di sana. Hanya saja, karena saya Toraja-nya bukan di Rantepao (tapi Makale), jadinya kurang familiar dengan lokasi itu (belum pernah ke sana, hanya dengar namanya saja).

Untuk kisah Landorundun ini saya nyaris memberi bintang 5. Tapi ada satu hal yang membuat bintangnya jadi berkurang jadi hanya bintang 4. Akhir cerita tentang Kinaa Landorundun dan Ben(durana) yang ternyata masih bersaudara masih bisa diterima. Tapi ketika muncul “Landorundun ketiga”, endingnya terkesan dipaksakan. Belum lagi paragraf terakhir yang ceritanya seakan dipotong dengan terpaksa. Ohya, satu pertanyaan saya adalah, bagaimana seorang Bendurana yang berasal dari Bugis mampu berbahasa Toraja dengan baik bahkan bisa berbalas pantun (londe) dengan Landorundun? Padahal bahasa Toraja dan Bugis jauh bedanya.

Ada satu “kebiasaan” saya saat membaca sebuah novel. Sebelum membaca novel itu, saya berusaha mencari tahu latar belakang penulisnya. Biasanya saya search di internet. Syukur-syukur kalo mendapatkan blog dari penulisnya. Dari blognya, kita bisa lebih mengenal siapa sebenarnya si penulis, bagaimana kehidupan sehari-hari, atau paling tidak bagaimana cara dia menuturkan cerita di luar novel. Terkadang sering saya menemukan bahwa penulis memasukkan “kehidupannya” sebagai latar belakang karakter tokoh utama di dalam novelnya.

Begitu juga dengan Rama dan Ben(durana). Di dalam novel dikisahkan Ben adalah seorang pemuda yang berusaha menuliskan kembali cerita rakyat Landorundun di dalam blognya. Sebagai tagline blognya Ben menuliskannya seperti ini :

Ini adalah sebuah tembuni. Setiap tulisan mewakili satu sel penyusunnya yang telah terserak ke penjuru-penjuru bumi. Melahirkan perjalanan-perjalanan aksara untuk memungutinya satu persatu yang 9semoga) kelask akan menyatukannya kembali. Dan setiap perkalanan adalah pencarian untuk sebuah nama : Landorundun. (Hal 18)

Bandingkan dengan tagline dari blog milik Rama

Ini adalah sebuah tembuni. Setiap tulisan mewakili penggalan kisah hidup (dalam urutan acak) yang menginspirasi atau paling tidak berkesan. Ibarat merunut setiap sel demi sel penyusun tembuni yang telah terurai habis dimakan mikroorganisme. Setiap perjalanan dan pencarian yang telah, sedang dan akan terjadi adalah usaha untuk menyatukannya menjadi utuh kembali.

Ben adalah Rama dan Rama ialah Ben.

Anyway.. saya sangat merekomendasikan novel ini untuk dibaca jika anda tertarik untuk mengenal budaya Toraja. Ohya, kalau mau membelinya silahkan dipesan di sini. Trailernya juga ada di sini.

Good job, RaMa…


Be First to Post Comment !
Post a Comment